Aku mencari mau,
Namun tiada yang kudapat.
Aku meminta tau,
Hanya pertanyaan yang terlempar.
Ku ingin kau bebaskanku,
Lalu akupun terdampar pada kegetiran yang dalam.
Judul tulisan ini mungkin akan menggelitik kita tentang siapa yang mengungkung engkau. Pertanyaan bagi kita semua, benarkah kita terkungkung dalam aktivitas berkesenian yang sedang kita jajaki menuju pada keinginan atau pemenuhan ruang idealisme kita. Lalu mengapa kita merasa terkungkung saat kita tidak merasa terbebani oleh idealisme agar kita ”ada” atau ”tiada” diantara ramainya persaingan eksistensi berkesenian. Maka hemat saya lakukanlah apa yang akan kita kerjakan dengan ketulusan dan menghargai ide dan kreativitas kita tanpa merasa diri kita terkungkung untuk menghidupi kreativitas berkesenian. Namun lebih jauh lagi istilah terkungkung disini, hanyalah pembatasan ruang gerak kita dan arah langkah kita menghadapi situasi dan kondisi yang sedang kita alami. Menerima situasi dan kondisi tersebut memang sangatlah menyakitkan saat kita mengalaminya sendiri, jelas disini dibutuhkan respon dan kehendak untuk melakukan rutinitas pembebasan agar kita tetap melakukan proses kreativitas.
Kemunculan seni sebagai nilai pembebasan pada dasarnya adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan boleh dikatakan, pada dasarnya hakekat seni adalah pembebasan. Kata ”pembebasan” lawan dari kata terkungkung, ternyata dari jaman ke jaman memiliki pengertian dan makna yang berbeda-beda, sesuai dengan konteks dan bentuk penindasan dan ketidakadilan pada jamannya. Demikian halnya Paulo Freire, tokoh pendidikan kritis yang meletakkan dasar ”pendidikan bagi kaum tertindas” asal Brasil itu, memberikan makna pembebasan lebih ditekankan pada kebangkitan kesadaran kritis masyarakat. Bagi Freire, mengungkapkan hakekat ”pembebasan” adalah suatu proses bangkitnya ”kesadaran kritis” rakyat terhadap sistem dan struktur sosial yang menindas. Tema pokok gagasan Freire sesungguhnya mengacu pada landasan keyakinan bahwa pendidikan pada dasarnya merupakan ”proses memanusiakan manusia kembali”. Pendidikan sebagaimana dipraktekkan di sekolah-sekolah, ternyata justru menjadi bagian dari sistem masyarakat yang melanggengkan proses tidak memanusiakan manusia, manusia dijadikan mesin tanpa mampu membangkitkan kesadaran kritis terhadap dirinya dan bahkan terhadap lingkungan sosialnya.
Apakah aku harus menjadi benalu,
Diantara pokok-pokok dedaunan
Yang tak mampu lagi,
Mengatakan kebenaran,
Diantara kebenaran matahari yang kucari.
...
Teater pembebasan sesungguhnya telah dikembangkan oleh Bertolt Brech (1898-1956), seorang penulis dan teoritisi teater. Seabad kemudian tradisi teater pembebasan dan karya Brech tersebut mulai dipentaskan oleh Augusto Boal di Amerika Latin pada tahun 70-an dalam konteks pembebasan. Jika Paulo Freire mengembangkan pendidikan untuk kaum tertindas, maka Boal mempelopori suatu teater pembebasan bagi kaum tertindas, suatu eksperimen teater yang dimulai dengan melibatkan rakyat miskin yang tinggal di daerah kumuh di kota-kota besar. Seni teater, dengan demikian telah dtransformasikan dari suatu teater yang diciptakan oleh para seniman yang mengangkat cerita dari kisah penindasan rakyat jelata dan dimainkan oleh para seniman profesional untuk menjadi suguhan teater yang berkualitas, menjadi teater yang dikembangkan, dimainkan serta disajikan oleh dan kepada rakyat sendiri. Maka seni teater berfungsi menjadi media bagi rakyat untuk melakukan studi tentang sistem yang memarginalkan mereka. Teater juga menjadi media pendidikan populer.
Salah satu implikasi praksis teater pembebasan ini adalah, teater tidak sekedar menjadi tontonan melainkan senantiasa mendorong pada aksi atau tindakan pemecahan masalah dan berakibat pada usaha perubahan sosial. Dengan bermunculannya seniman-seniman kritis dan kelompok-kelompok teater kritis pada masa otoriter jaman orde baru, dapat kita sebut Emha Ainun Najib (teater Dinasti dan komunitas Kyai Kanjeng), Butet Kertarajasa, Djaduk Ferianto (teater Gandrik) N. Riantiarno (teater Koma), teater Buruh, Ratna Sarumpaet (Marsinah), Widji Tukul, Pramoedya Ananta Toer (sastra), Moelyono (perupa) dan banyak lagi yang lainnya telah merangsang bangkitnya resistensi dan semangat pembebasan terhadap penindasan rakyat kecil, hak asasi manusia dan demokrasi.
Kesenian kritis akan mendorong lingkungan budaya sosial politik yang demokratis. Kesenian kritis lebih lanjut akan melahirkan kesadaran dan budaya masyarakat yang menghargai hak asasi manusia. Namun pada kenyataannya hanya sistem sosial yang demokratis yang akan memberikan ruang kesenian pembebasan untuk berkembang. Sementara dalam sistem sosial politik yang otoriter dan totaliter dan merendahkan hak asasi manusia, kesenian dibunuh hakekat ”pembebasannya”. Dan seni yang kehilangan hakekat pembebasannya, pada dasarnya, telah mati. Oleh karena itu untuk mewujudkan sistem sosial politik demokratis, para seniman harus merebut ruang publik untuk mengekspresikan kebebasan mereka sekaligus membangkitkan kesadaran dan kebudayaan kritis masyarakat. Hanya dengan penciptaan ruang untuk ekspresi itulah suatu budaya masyarakat yang demokratis dapat diwujudkan.
Tak lagi kubilang iya,
Saat aku harus belajar mengatakan tidak,
Tak ada lagi mesin dan rumus-rumus,
Saat aku mampu menghitung dengan kebenaran yang kudapat.
...
(by. Agus suharjoko)
Namun tiada yang kudapat.
Aku meminta tau,
Hanya pertanyaan yang terlempar.
Ku ingin kau bebaskanku,
Lalu akupun terdampar pada kegetiran yang dalam.
Judul tulisan ini mungkin akan menggelitik kita tentang siapa yang mengungkung engkau. Pertanyaan bagi kita semua, benarkah kita terkungkung dalam aktivitas berkesenian yang sedang kita jajaki menuju pada keinginan atau pemenuhan ruang idealisme kita. Lalu mengapa kita merasa terkungkung saat kita tidak merasa terbebani oleh idealisme agar kita ”ada” atau ”tiada” diantara ramainya persaingan eksistensi berkesenian. Maka hemat saya lakukanlah apa yang akan kita kerjakan dengan ketulusan dan menghargai ide dan kreativitas kita tanpa merasa diri kita terkungkung untuk menghidupi kreativitas berkesenian. Namun lebih jauh lagi istilah terkungkung disini, hanyalah pembatasan ruang gerak kita dan arah langkah kita menghadapi situasi dan kondisi yang sedang kita alami. Menerima situasi dan kondisi tersebut memang sangatlah menyakitkan saat kita mengalaminya sendiri, jelas disini dibutuhkan respon dan kehendak untuk melakukan rutinitas pembebasan agar kita tetap melakukan proses kreativitas.
Kemunculan seni sebagai nilai pembebasan pada dasarnya adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan boleh dikatakan, pada dasarnya hakekat seni adalah pembebasan. Kata ”pembebasan” lawan dari kata terkungkung, ternyata dari jaman ke jaman memiliki pengertian dan makna yang berbeda-beda, sesuai dengan konteks dan bentuk penindasan dan ketidakadilan pada jamannya. Demikian halnya Paulo Freire, tokoh pendidikan kritis yang meletakkan dasar ”pendidikan bagi kaum tertindas” asal Brasil itu, memberikan makna pembebasan lebih ditekankan pada kebangkitan kesadaran kritis masyarakat. Bagi Freire, mengungkapkan hakekat ”pembebasan” adalah suatu proses bangkitnya ”kesadaran kritis” rakyat terhadap sistem dan struktur sosial yang menindas. Tema pokok gagasan Freire sesungguhnya mengacu pada landasan keyakinan bahwa pendidikan pada dasarnya merupakan ”proses memanusiakan manusia kembali”. Pendidikan sebagaimana dipraktekkan di sekolah-sekolah, ternyata justru menjadi bagian dari sistem masyarakat yang melanggengkan proses tidak memanusiakan manusia, manusia dijadikan mesin tanpa mampu membangkitkan kesadaran kritis terhadap dirinya dan bahkan terhadap lingkungan sosialnya.
Apakah aku harus menjadi benalu,
Diantara pokok-pokok dedaunan
Yang tak mampu lagi,
Mengatakan kebenaran,
Diantara kebenaran matahari yang kucari.
...
Teater pembebasan sesungguhnya telah dikembangkan oleh Bertolt Brech (1898-1956), seorang penulis dan teoritisi teater. Seabad kemudian tradisi teater pembebasan dan karya Brech tersebut mulai dipentaskan oleh Augusto Boal di Amerika Latin pada tahun 70-an dalam konteks pembebasan. Jika Paulo Freire mengembangkan pendidikan untuk kaum tertindas, maka Boal mempelopori suatu teater pembebasan bagi kaum tertindas, suatu eksperimen teater yang dimulai dengan melibatkan rakyat miskin yang tinggal di daerah kumuh di kota-kota besar. Seni teater, dengan demikian telah dtransformasikan dari suatu teater yang diciptakan oleh para seniman yang mengangkat cerita dari kisah penindasan rakyat jelata dan dimainkan oleh para seniman profesional untuk menjadi suguhan teater yang berkualitas, menjadi teater yang dikembangkan, dimainkan serta disajikan oleh dan kepada rakyat sendiri. Maka seni teater berfungsi menjadi media bagi rakyat untuk melakukan studi tentang sistem yang memarginalkan mereka. Teater juga menjadi media pendidikan populer.
Salah satu implikasi praksis teater pembebasan ini adalah, teater tidak sekedar menjadi tontonan melainkan senantiasa mendorong pada aksi atau tindakan pemecahan masalah dan berakibat pada usaha perubahan sosial. Dengan bermunculannya seniman-seniman kritis dan kelompok-kelompok teater kritis pada masa otoriter jaman orde baru, dapat kita sebut Emha Ainun Najib (teater Dinasti dan komunitas Kyai Kanjeng), Butet Kertarajasa, Djaduk Ferianto (teater Gandrik) N. Riantiarno (teater Koma), teater Buruh, Ratna Sarumpaet (Marsinah), Widji Tukul, Pramoedya Ananta Toer (sastra), Moelyono (perupa) dan banyak lagi yang lainnya telah merangsang bangkitnya resistensi dan semangat pembebasan terhadap penindasan rakyat kecil, hak asasi manusia dan demokrasi.
Kesenian kritis akan mendorong lingkungan budaya sosial politik yang demokratis. Kesenian kritis lebih lanjut akan melahirkan kesadaran dan budaya masyarakat yang menghargai hak asasi manusia. Namun pada kenyataannya hanya sistem sosial yang demokratis yang akan memberikan ruang kesenian pembebasan untuk berkembang. Sementara dalam sistem sosial politik yang otoriter dan totaliter dan merendahkan hak asasi manusia, kesenian dibunuh hakekat ”pembebasannya”. Dan seni yang kehilangan hakekat pembebasannya, pada dasarnya, telah mati. Oleh karena itu untuk mewujudkan sistem sosial politik demokratis, para seniman harus merebut ruang publik untuk mengekspresikan kebebasan mereka sekaligus membangkitkan kesadaran dan kebudayaan kritis masyarakat. Hanya dengan penciptaan ruang untuk ekspresi itulah suatu budaya masyarakat yang demokratis dapat diwujudkan.
Tak lagi kubilang iya,
Saat aku harus belajar mengatakan tidak,
Tak ada lagi mesin dan rumus-rumus,
Saat aku mampu menghitung dengan kebenaran yang kudapat.
...
(by. Agus suharjoko)
0 komentar:
Posting Komentar