Setelah usai memperingati hari kejayaan..
Engkau diusung ke istana
Engkau disuguhkan kehadapan penguasa
Dan engkau diumumkan ke seantero bumi pertiwi
Bahwa engkau ada...
Bahwa engkau hidup..
Bahwa engkau bernafas...
Dan setelah itu...
Menggeliat antara hidup dan mati
...kesenian secara kontekstual berkaitan dengan berbagai bentuk kepentingan kehidupan budaya manusia, sehingga kesenian lebih cenderung bersifat multi fungsi. Posisi kesenian dalam wacana politik kenegaraan merupakan salah satu aset legitimasi politis bagi pembangunan negara. Oleh karena secara birokratis dilakukan penggalian serta pemberdayaan terhadap kesenian. Pemberdayaan yang mungkin dilakukan hanya sebagai sarana untuk melengkapi penderitaan kesenian itu sendiri (baca=seniman). Lalu sampai dimanakah langkah birokrasi melakukan pembinaan terhadap kesenian? Pertanyaan ini selalu berada dalam pusaran kegelisahan para seniman dan pengambil kebijakan itu sendiri. Pembinaan yang selama ini tak lebih dari pengawasan terhadap aktivitas senimannya itu sendiri dan mencoba untuk mengarahkan pendekatan konsep atau gagasan artistik seniman untuk kepentingan birokrasi. Seperti halnya pada masa orde baru, pendekatan tersebut sangatlah terasa sekali dimana seniman diminta untuk mematuhi sejubel aturan agar tidak bergesekan dengan kepentingan negara.
Kesenian sebagai aset legitimasi politis bagi pembangunan negara dapat diartikan kesenian dilekatkan pada tujuan pengukuhan politis kenegaraan (pemerintah) sebagai penguasa. Secara politis pemerintah menguasai kesenian sebagai simbol keagungan dan kebesaran kekuasaannya (pembinaannya), sehingga kesenian tampil secara mewah dan ekslusif dalam upacara kebesaran. Ini dapat kita lihat saat ada acara-acara resmi yang dihadiri oleh kalangan birokrasi (penguasa). Fenomena ini masih dapat kita lihat di derah-daerah dimana saat birokrasi mengadakan acara resmi atau mengadakan ivent hasil pembinaan kesenian, pasti yang ditampilkan adalah bentuk-bentuk kesenian yang eksklusif (tidak dapat kita pungkiri).
Konsekuensi logis fenomena tersebut, birokrasi (penguasa) mendukung sepenuhnya secara ekonomi, politik dan budaya terhadap seluruh unsur yang mendukung kesenian. Penguasa menjadi patron yang utama dalam mendukung kehidupan kesenian. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan kesenian sangat dipengaruhi oleh kekuatan pemerintah, politik, kekuasaan dan keyakinan. Dengan demikian sangatlah wajar apabila negara dan para penguasamembuat kebijakan-kebijakan tertentu untuk membina dan mengembangkan keseniansesuai dengan visi dan misi pemerintah atau bahkan kesenian harus sesuai dengan cita rasa dan selera para penguasa negara. Bahkan pemberdayaan seniman secara hegemonis selalu diarahkan pada praktik politik negara dan penguasa baik secara individu maupun kelompok. Dalam konteks tertentu pemerintah memberikan penghargaan kepada seniman atau kelompok kesenian yang dianggap berjasa dan berprestasi, juga emberikan hukuman kepada seniman dan kelompok seniman yang dianggap berbahaya bagi negara dan penguasa.
Helaan nafasmu...
Diantara dua sisi mata koin
Kadang terdampar dipadang yang tandus
Antara kemiskinan kreativitas
Dan kejayaan idealisme
Namun pilihan itu
Adalah sebuah kejujuran
Untuk aku dapat bersuara
...
Pada konteks tertentu interaksi sosial politik menyeret kesenian dalam posisi tidak memiliki kepentingannya sendiri secara murni. Kesenian dihadapkan pada realitas ruang dan zaman yang selalu menyudutkan kepentingan tumbuh dan berkembang secara kultural, dialogis dan alami.
Lalu...
Engkau berjalan
Terseok..
Lalu roboh
Dimakan masa silammu.
(by.agus suharjoko)
Engkau diusung ke istana
Engkau disuguhkan kehadapan penguasa
Dan engkau diumumkan ke seantero bumi pertiwi
Bahwa engkau ada...
Bahwa engkau hidup..
Bahwa engkau bernafas...
Dan setelah itu...
Menggeliat antara hidup dan mati
...kesenian secara kontekstual berkaitan dengan berbagai bentuk kepentingan kehidupan budaya manusia, sehingga kesenian lebih cenderung bersifat multi fungsi. Posisi kesenian dalam wacana politik kenegaraan merupakan salah satu aset legitimasi politis bagi pembangunan negara. Oleh karena secara birokratis dilakukan penggalian serta pemberdayaan terhadap kesenian. Pemberdayaan yang mungkin dilakukan hanya sebagai sarana untuk melengkapi penderitaan kesenian itu sendiri (baca=seniman). Lalu sampai dimanakah langkah birokrasi melakukan pembinaan terhadap kesenian? Pertanyaan ini selalu berada dalam pusaran kegelisahan para seniman dan pengambil kebijakan itu sendiri. Pembinaan yang selama ini tak lebih dari pengawasan terhadap aktivitas senimannya itu sendiri dan mencoba untuk mengarahkan pendekatan konsep atau gagasan artistik seniman untuk kepentingan birokrasi. Seperti halnya pada masa orde baru, pendekatan tersebut sangatlah terasa sekali dimana seniman diminta untuk mematuhi sejubel aturan agar tidak bergesekan dengan kepentingan negara.
Kesenian sebagai aset legitimasi politis bagi pembangunan negara dapat diartikan kesenian dilekatkan pada tujuan pengukuhan politis kenegaraan (pemerintah) sebagai penguasa. Secara politis pemerintah menguasai kesenian sebagai simbol keagungan dan kebesaran kekuasaannya (pembinaannya), sehingga kesenian tampil secara mewah dan ekslusif dalam upacara kebesaran. Ini dapat kita lihat saat ada acara-acara resmi yang dihadiri oleh kalangan birokrasi (penguasa). Fenomena ini masih dapat kita lihat di derah-daerah dimana saat birokrasi mengadakan acara resmi atau mengadakan ivent hasil pembinaan kesenian, pasti yang ditampilkan adalah bentuk-bentuk kesenian yang eksklusif (tidak dapat kita pungkiri).
Konsekuensi logis fenomena tersebut, birokrasi (penguasa) mendukung sepenuhnya secara ekonomi, politik dan budaya terhadap seluruh unsur yang mendukung kesenian. Penguasa menjadi patron yang utama dalam mendukung kehidupan kesenian. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan kesenian sangat dipengaruhi oleh kekuatan pemerintah, politik, kekuasaan dan keyakinan. Dengan demikian sangatlah wajar apabila negara dan para penguasamembuat kebijakan-kebijakan tertentu untuk membina dan mengembangkan keseniansesuai dengan visi dan misi pemerintah atau bahkan kesenian harus sesuai dengan cita rasa dan selera para penguasa negara. Bahkan pemberdayaan seniman secara hegemonis selalu diarahkan pada praktik politik negara dan penguasa baik secara individu maupun kelompok. Dalam konteks tertentu pemerintah memberikan penghargaan kepada seniman atau kelompok kesenian yang dianggap berjasa dan berprestasi, juga emberikan hukuman kepada seniman dan kelompok seniman yang dianggap berbahaya bagi negara dan penguasa.
Helaan nafasmu...
Diantara dua sisi mata koin
Kadang terdampar dipadang yang tandus
Antara kemiskinan kreativitas
Dan kejayaan idealisme
Namun pilihan itu
Adalah sebuah kejujuran
Untuk aku dapat bersuara
...
Pada konteks tertentu interaksi sosial politik menyeret kesenian dalam posisi tidak memiliki kepentingannya sendiri secara murni. Kesenian dihadapkan pada realitas ruang dan zaman yang selalu menyudutkan kepentingan tumbuh dan berkembang secara kultural, dialogis dan alami.
Lalu...
Engkau berjalan
Terseok..
Lalu roboh
Dimakan masa silammu.
(by.agus suharjoko)
0 komentar:
Posting Komentar