Rabu, 09 September 2009

Menilik Kembali Kesenian ALALABANG

Oleh : Mahwi Air Tawar
Majalah Kalimah, Edisi I Tahun I Juni 2008

Pulau Madura yang terletak di sebelah kota Surabaya, dihuni oleh suku bangsa Madura. Dan sebagai suku, sebagaimana suku-suku lainnya di Indonesia, Madura mempunya bahasa daerah tersendiri, yakni bahasa Madura.

Sebagaimana halnya suku-suku lain pulalah, Madura juga mempunyai beraneka ragam kesenian, ludruk, topeng dhalang (wayang wong), tandak, musik ghul-ghul dan lain-lain. Sampai sekarang jenis kesenian tradisi di atas sudah tak banyak diminati masyarakat Madura. Kesenian ludruk, topeng dhalang dan tandak yang biasa ditanggap pada saat-saat ada helat desa, pesta perkawinan, petik laut (selamatan pantai) dan sebagainya. Sebagaimana kebanyakan masyarakat tradisi di daerah-daerah lain, ketika ada pertunjukan rakyat : ludruk dan topeng dhalang (wayang). Maka, dapat dipastikan lokasi pertunjukan akan dipadati oleh penduduk yang ingin menonton. Ah itu dulu. Namun kini ?

Ya, belakangan, jarang kita temui pertunjukan ludruk, topeng dhalang, terkecuali tandak yang masih menyisahkan banyak peminat, penonton, dan yang lebih ironis lagi, sebuah pergelaran tradisi yang kehadirannya dulu senantiasa membuat setip masyarakat menunggu diambang pintu, begitu mendengar dari jauh alunan gending, tetambang, sastra yang dikidungkan, tarian rakyatnya yang memukau. Aduhai, Huha..., ”bersihkan halaman rumah, sebentar lagi rombongan alalabang datang”. Begitu masyarakat menyambut, rombongan kesenian yang melibatkan beberapa unsur kesenian; topeng dhalang, macapat dan tandak.

Alalabang (Madura), artinya datang dari pintu ke pintu. Jenis kesenian yang menyajikan sastra lisan dari satu rumah ke rumah yang lain. Bentuk keseniannya bermacam-macam ada yang menyanyi tanpa iring-iringan musik, ada juga melantunkan syair-syair agama dengan pukulan 3 buah gendhang rebana, dan ada berupa rombongan anak-anak kecil, 2 anak di depan berpakaian pengantin sedang yang lainnya bertindak sebagai penyanyi cilik. Masing-masing wilayah mempunyai bentuk alalabang yang berbeda. Lebih-lebih rombongan alalabang, akan banyak menyedot penonton, ketika para rombongan itu membawakan sebuah kesenian topeng dhalang.

Pada musim panen kesenian ini akan ramai mendapat undangan untuk unjuk kebolehannya, karena saat itu masyarakat pedesaan bersuka ria atas nikmat yang dikarunia Tuhan. Biasanya jauh sebelum kesenian alalabang ini didatangkan, masyarakat menyelenggarakan acara tasyakuran, dengan mendatangkan beberapa tokoh masyarakat dan agama, untuk turut berdoa serta bersyukur atas hasil penen yang melimpah, dan dalam hal ini mereka menyebutnya along-polong hingga beberapa hari berselang, didatangkanlah jenis kesenian alalabang.

Kini, seiring dengan perkembangan, kesenian ini sudah punah keberadaannya, akan tetapi bukan berarti helat pesta ditiadakan oleh masyarakat petani, nelayan. Tidak, mereka tetap menghelat acara serupa. Namun, bila dulu mereka menganggap kesenian tradisi, tapi sekarang mereka lebih suka menggelar acara kesenian yang lebih modern, yakni dangdutan! Tentu, dengan nuansa yang berbeda.

Maka untuk melestarikannya perlu direvitalisasi. Dua tahun belakangan, sejak bulan desember 2006 hinga bulan juni 2007, beberapa seniman asal Sumenep, Madura, yaitu Agus Suharjoko, Ahmad Darus dan kelompok Lembaga Tanah Kapur Sumenep, menggelar pertunjukan alalabang di 5 kota, Surabaya, Yogyakarta, Jakarta, Malang dan terakhir di gedung Ratna Kanda, Taman Budaya Bali, yan berlangsung pada tanggal 17 Juni 2007.

Pertunjukan yang kental dengan tradisi lisan ini ditampilkan dengan dukungan gamelan, saronen, sastra lisan (macapat), tarian topeng diolah menjadi pertunjukan., yang sudah berbeda bentuknya dengan alalabang yang dulu. Tetapi, nunsa Maduranya yang menjadi inspirasi serta clurit yang menjadi spirit masyarakat Madura sendiri tetap dipertahankan.

Pertunjukan dibuka dengan tarian gambuh, dengan mengangkat sebuah cerita wayang dikombinasikan dengan cerita kehidupan masyarakat Madura.

Bermula dari sebuah negeri bernama Solo Salemar dengan kehidupan masyarakatnya yang gemah ripa loh jinawi, namun secara tiba-tiba mendapat serangan dari kerajaan Atas Angin yang bersikap keras dan kasar, beringas dan mereka memporakporandakan kehidupan masyarakat Polo Salemar yang tengah menikmati panen. Peperangan tak terelakkan. Kehidupan Polo Salemar tidak aman lagi. Maka, raja Polo Salemar segera meminta bantuan raja Baladewa. Atas saran raja Baadewa, agar raja Polo Salemar menyerahan sepenuhnya pada kekuatan rakyatnya dan memohon petunjuk kepada Yang Maha Agung. Raja Polo Salemar, hari itu juga memerintahkan seluruh penduduknya untuk mempersiapkan diri memukul mundur pasukan Atas Angin. Persiapan dilakukan dan berkat solidaritas yang tinggi serta atas ijin Yang Maha Agung, pasukan Atas Angin dapat dipukul mundur dan negeri Polo Salemar kembali gemah ripa loh jinawi.

Pertunjukan ini diakhiri dengan tarian gambuh. Serta tarian yang mencerminkan keharmonisan kehidupan masyarakat Madura, serta makna filosofi dari celurit yang selama ini oleh banyak kalangan, celurit dianggap hanya semata-mata sebagai alat untuk membunuh. Ya, clurit yang selama ini hanya dipandang sebelah mata oleh banyak orang, yakni sebagai perlambang kekerasan masyarakat Madura. Maka, dalam pertunjukan alalabang itu, kian jelas makna sebenarnya, bahwa celurit bukanlah alat untuk membunuh, melainkan dari balik ketajaman celurit itu, terdapat makna spirit masyarakat setempat dalam berbuat sesuatu, agar selalu siap menghadapi hidup. Tidak menyerah pada tugas dalam kondisi apapun sebelum tugas diselesaikan.

Pementasan alalabang sengaja mengambil kisah dari cerita wayang dipadu dengan cerita masyarakat Madura. Dua cerita yang berbeda, namun meskipun dalam pertunjukan ini berasal dari dua cerita yang berlainan, tapi tetap ada yang menjadi benag merah, yaitu kekerasan raja Atas Angin saat menyerang Polo Salemar dengan anggapan miring terhadap kekerasan masyarakat Madura, dalam pertunjukan ini menjadi sesuatu yang unik dan menarik.

Sebagaimana beberapa tahun silam, bahwa alalabang akan lebih banyak menyedot penonton, ketika dalam alalabang itu diisi dengan pertunjukan topeng dhalang.meski tak pelak lagi. Ketika seniman tradisi Sumenep, Madura itu dalam karyanya mengambil ide garap, jenis kesenian tradisi topeng dhalang dipadu dengan bentuk kesenian modern, seperti teater, tarian kontemporer. Tentulah bentuk kesenian modern disajikan dalam pertunjukan alalabang, dalah sebagai upaya merawat kesenian tradisi yang masih mungkin dikembangkan, disamping belakangan kesenian tradisi sudah jarang diminati oleh masyarakat lebih-lebih generasi muda yang kian acuh dan tak mau tahu terhadap budayanya sendiri.

Sebagaimana dikemukakan budayawan asala Madura, D. Zawawi Imron, ketika kesenian alalabang ini dipentaskan di TIM, 11/6. pada era globalisasi, adanya media elektronik, televisi, VCD dan lain-lain, serbuan kebudayaan asing menjadi sulit untuk dielakkan. Kebudayaan asing memang bukan musuh, tetapi mempertahankan budaya bangsa, sebagai identitas merupakan perjuangan, ungkap D. Zawawi Imron. Itu artinya kebudayaan dan kesenian yang sehat, ialah yang sanggup bersaing dalam era globalisasi. Untuk itu diperlukan upaya kreatif dalam menjawab tantangan, menghidupkan kembali seni tradisi yang berisi semangat baru, nafas baru, dan warna baru sehingga bisa bersaing dengan kesenian-kesenian yang ada di seluruh pelosok bumi.

Maka, dengan direvitalisasinya kesenian tradisi alalabang menjadi pertunjukan modern, adalah sebagai upaya agar masyarakat, lebih-lebih generasi sebagai penerus berminat tetap menjaga serta merawatnya, disamping agar kesenian tradisi tetap menjadi pertunjukan yang segar, tidak membosankan serta monoton. Meminjam ungkapan Slamet Subiyantoro: bukankah, seni tradisi pada dasarnya adalah seni yang tidak statis, karena keberadaannya secara faktual, dari generasi ke generasi selalu mengalami tahapan penyempurnaan yang mewakili zamannya. Penyempurnaan yang lebih adaptif dengan tuntutan masyarakat pendukung kesenian merupakan bagian penting dalam proses kemantapan seni tradisi itu sendiri. Sehingga, jenis kesenian tradisi akan terus diminati oleh generasi berikutnya, termasuk alalabang.

* Ketua Komite Kajian Seni dan Budaya Lembaga Tanah Kapur Sumenep, Madura.

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut

 

TANAH KAPOR | Creative Commons Attribution- Noncommercial License | Dandy Dandilion Designed by Simply Fabulous Blogger Templates