Oleh: Hidayat Raharja
Alalabang, merupakan salah satu bentuk revitalisasi yang dilakukan untuk mengemas seni pertunjukan dengan mengelola tradisi lisan yang ada di Sumenep. Pertunjukan seni tradisi yang berhasil lolos seleksi untuk mewakii jawa timur ke forum festival seni tradisi se Asia di jakarta pada tanggal 1-4 Desember 2006.
Alalabang, berasal dari kata labang, berarti pintu. Dimaksudkan pertunjukan seni tradisi di Sumenep (Topeng Dhalang) pada mulanya bentuk pertunjukan dari pintu ke pintu atau di undang untuk mendatangi rumah yang punya hajat. Kerapkali undangan tanggapan datang ketika rombongan topeng tengah mentas di suatu rumah untuk pentas ke rumah yang lain. Pengundang tidak mendatangi rumah Dalang tetapi mendatangi rumah yang punya hajat pada saat itu. Konsep inilah yang melatarbelakangi untuk merevitalisasi seni pertunjukan tradisi lisan, Alalabang.
Dalam konsep revitalisasi pertunjukan seni tradisi lisan Alalabang, mengambil tiga unsur seni tradisi; sastra lisan (macopat), Solo’an, dan Topeng Dhalang sementara seni modern yang dipadukan berupa “Tari Mothak” (tari monyet). Konsep garapan yang dipadukan antara kelisanan dengan teater yang keduanya saling menguatkan, panggung memvisualisasikan teks yang dibacakan dalang. Pertunjukan alalabang, mengambil amsal Rokat Bujuk dengan menganalogikan panggung sebagai “bujuk”. Jadi awal pertunjukan dimulai di luar panggung menuju ke panggung, yang dimisalkan sebagai bujuk.
Pertunjukan yang dilakukan di pendapa keraton Sumenep pada tanggal 21 Nopember 2006, malam hari. Suara saronen melengking diiringi suara tabuhan kennong telo’ dan suara kendang lengkingan mengusik perhatian penonton dan semua pandangan tertuju ke luar panggung Suara penembang memecah suara gamelan sambil berjalan menuju ke arena.
Namen lorkong tombu labu/ Bungkana e temor daja/ sakalangkong mon padha rabhu/ mon bungana tada’ padha//
Mon serena sere koneng/ roko’ eskot telena mera/ mon serrena kaula ta’ oneng/sala lopot nyo’on sapora//
Gagambang kaju angsana/ bilis getel eranca’na/ etembang sola tengkana/ sakeng neser eoca’na//
(Nanam ubi tumbuh labu/ pohonnya di tenggara/ terimakasih pada hadirin yang datang/ rasa bahagia tak terkira//
Kalau sirihnya sirih kuning/ rokok eskot tali merah/ karena sebab saya tidak tahu/ salah luputnya mohon dimaafkan//
Gambang kayu angsana/ semut gatal di cecabang/ dipikirkan polah tingkahnya/ karena iba di ucapnya//
Tetembangan terus mengalun dan di depan panggung, dalang mengambil perangkat “Bajang Pappa / atau Gelagar” sambil melantunkan tetembangan. Dalang terus bergerak menuju ke depan layar sambil memainkan sepasang wayang yang melambangkan K. Agung Barumbung dan Mothak Pote/ Kera putih. Suatu awal pengisahan yang diambil dari cerita lisan masyarakat Bun-Bara’ kecamatan Ru-Baru Sumenep. Konon, pada masa itu Kiai Agung Barumbung sebagai ulama memiliki beberapa orang santri dan salah satu peliharaannya adalah seekor kera yang amat taat kepadanya. Pada suatu hari kera putih ditugaskan untuk mengawasi lahan tanaman timun milik sang Kiai. Mendapat tughas tersebut, setiap malam kera berjaga-jaga supaya timun tidak diambil oleh pencuri. Namun, tiba muncul akal cerdik si kera dengan melabur (mengecat) buah mentimum dengan kapur putih sehingga seluruh buah mentimun yang semula berwarna hijau berubah menjadi putih. Konon pula menurut kisah, sejak saat itu timun yang berasal dari utara Sumenep (Rubaru) warnanya putih.
Cerita rakyat diangkat ke atas panggung kian menarik ketika divisualisasikan dalam bentuk wayang (bajang pappa/ gelagar), dan vusalisai ini makin diperkuat ketika akan mengalihkan cerita dari bajang pappa ke topeng dhalang, yaitu dengan gerakan tangan dalang yang tengah nmemainkan wayang pappa kera putih tertarik kuat ke depan layar dalam guncangan yang demikian kuat . Wayang pappa jatuh dan dari balik layar keluar peraga dengan kostum kera Anoman. Menari dan mengitari panggung.
Perpindahan adegan diperkuat dengan suara dalang dan paneges yang memperkenalkan kehadiran kera Anoman yang telah berhasil melaksanakan tugas dari Rama untuk mengantarkan cincin kepada Dewi Shinta. Tapi sampai di taman Argaloka, Anoman tak mau kembali ke Anglengka, melainkan tetap di taman Argaloka dan memporak-porandakannya. Kisah Anoman di taman Argaloka, merupakan fragmen kisah dalam kisah topeng dhalang. Saat Anoman berada di Argaloka, keberadaannya di ketahui oleh Trijata, dan jatuh cinta dengannya. Suara dalang dan paneges saling bersahut melantungkan tembang-tembang artate (kasmaran);
Sattanangga esassa’ah/esebbidda noro’ lorong/ ce’ emanna se tapesa’a/ kare abit along-polong//
Ser-keseran obi manis/ jang-lajangan daunna nangka/ ker-pekkeran sambi nangis /jangbajangan sanggu dika//
(sapu tangannya mau dicucci/ disobeki sepanjang jalan/ sungguh berat mau berpisah// karena telah lama tinggal bersama//
Ser-keseran ubi manis/layangan dari daun nangka/ kepikiran ingat sama dikau/ada bayangan disangka dikau//)
Percintaan Anoman dan Trijata diketahui oleh Indrajit, dan membuatnya iri. Indrajit dikeroyok oleh pasukan kera kemudian menghindar datang kembali bersama rombongan pasukan perangnya. Sehingga terjadilah perang antara pasukan Anoman dengan pasukan perang Indrajit. Pengisahan ini semakin menarik dengan peran kendali dalang dalam menjalin cerita . Pada bagian akhir cerita dalang menghentikan peperangan dan meminta semua pasukan perang membuka topengnya. Ketika mereka disuruh berhenti perang, pasukan tersebut menjawab mereka disuruh dalang.
******
Revitalisasi tradisi lisan yang dilakukan oleh Agus Suharjoko, alumni ISI Jogjakarta yang bertindak sebagai sutradara pementasan dan Ahmad Darus sebagai dalang merupakan hal yang amat menarik untuk ditelaah. Terobosan baru dilakukan dengan memadukan Macopat , Kejungan dan Topeng Dhalang serta munculnya “Bajang Pappa / bajang Gelagar”. Keberhasilan revitalisasi ini terbukti dengan terpilihnya untuk mewakili Jawa Timur di tingkat Asia dalam forum festival seni tradisi yang akan dilaksanakan di Jakarta.
Keberhasilan yang mencoba mengemas beberapa fragmen kisah yang berbeda dalam satu untaian cerita yang bergerak lentur, serta memasukkan permasalahan aktual dalam jalinan cerita. Hadirnya beberapa peraga perempuan dalam adegan topeng yang berstatus pelajar merupakan hal baru, karena selama ini pemain topeng semuanya laki-laki. Suatu revitalisasi untuk mendekatkan generasi muda dengan seni tradisi (topeng dhalang) dan Macopat. Konon, inovasi ini dapat diterima oleh pelaku dan tokoh topeng dalang di Sumenep, karena peraga perempuan tidak berada sebagai pemeran utama.
Untuk mengakrabkan seni tradisi lisan dengan anak muda merupakan sesuatu yang menarik, untuk menemukan aktualisasinya. Hal ini tentu dapat dilakukan dengan melakukan aktualisasi cerita sesuai dengan budaya anak muda. Keinginan yang sempat diharapkan oleh Agus Suharjoko, dengan melibatkan anak SMA terlibat dalam setiap kegiatan seni tradisi di Sumenep. Hal ini bukan hal yang sulit apabila kita menengok pada revitalisasi lenong dengan aneka bentuknya yang muncul di panggung televisi.
Sumenep, 22 Nopember 2006
*penulis adalah penyair, dan aktif dalam kajian seni tradisi madura
Alalabang, merupakan salah satu bentuk revitalisasi yang dilakukan untuk mengemas seni pertunjukan dengan mengelola tradisi lisan yang ada di Sumenep. Pertunjukan seni tradisi yang berhasil lolos seleksi untuk mewakii jawa timur ke forum festival seni tradisi se Asia di jakarta pada tanggal 1-4 Desember 2006.
Alalabang, berasal dari kata labang, berarti pintu. Dimaksudkan pertunjukan seni tradisi di Sumenep (Topeng Dhalang) pada mulanya bentuk pertunjukan dari pintu ke pintu atau di undang untuk mendatangi rumah yang punya hajat. Kerapkali undangan tanggapan datang ketika rombongan topeng tengah mentas di suatu rumah untuk pentas ke rumah yang lain. Pengundang tidak mendatangi rumah Dalang tetapi mendatangi rumah yang punya hajat pada saat itu. Konsep inilah yang melatarbelakangi untuk merevitalisasi seni pertunjukan tradisi lisan, Alalabang.
Dalam konsep revitalisasi pertunjukan seni tradisi lisan Alalabang, mengambil tiga unsur seni tradisi; sastra lisan (macopat), Solo’an, dan Topeng Dhalang sementara seni modern yang dipadukan berupa “Tari Mothak” (tari monyet). Konsep garapan yang dipadukan antara kelisanan dengan teater yang keduanya saling menguatkan, panggung memvisualisasikan teks yang dibacakan dalang. Pertunjukan alalabang, mengambil amsal Rokat Bujuk dengan menganalogikan panggung sebagai “bujuk”. Jadi awal pertunjukan dimulai di luar panggung menuju ke panggung, yang dimisalkan sebagai bujuk.
Pertunjukan yang dilakukan di pendapa keraton Sumenep pada tanggal 21 Nopember 2006, malam hari. Suara saronen melengking diiringi suara tabuhan kennong telo’ dan suara kendang lengkingan mengusik perhatian penonton dan semua pandangan tertuju ke luar panggung Suara penembang memecah suara gamelan sambil berjalan menuju ke arena.
Namen lorkong tombu labu/ Bungkana e temor daja/ sakalangkong mon padha rabhu/ mon bungana tada’ padha//
Mon serena sere koneng/ roko’ eskot telena mera/ mon serrena kaula ta’ oneng/sala lopot nyo’on sapora//
Gagambang kaju angsana/ bilis getel eranca’na/ etembang sola tengkana/ sakeng neser eoca’na//
(Nanam ubi tumbuh labu/ pohonnya di tenggara/ terimakasih pada hadirin yang datang/ rasa bahagia tak terkira//
Kalau sirihnya sirih kuning/ rokok eskot tali merah/ karena sebab saya tidak tahu/ salah luputnya mohon dimaafkan//
Gambang kayu angsana/ semut gatal di cecabang/ dipikirkan polah tingkahnya/ karena iba di ucapnya//
Tetembangan terus mengalun dan di depan panggung, dalang mengambil perangkat “Bajang Pappa / atau Gelagar” sambil melantunkan tetembangan. Dalang terus bergerak menuju ke depan layar sambil memainkan sepasang wayang yang melambangkan K. Agung Barumbung dan Mothak Pote/ Kera putih. Suatu awal pengisahan yang diambil dari cerita lisan masyarakat Bun-Bara’ kecamatan Ru-Baru Sumenep. Konon, pada masa itu Kiai Agung Barumbung sebagai ulama memiliki beberapa orang santri dan salah satu peliharaannya adalah seekor kera yang amat taat kepadanya. Pada suatu hari kera putih ditugaskan untuk mengawasi lahan tanaman timun milik sang Kiai. Mendapat tughas tersebut, setiap malam kera berjaga-jaga supaya timun tidak diambil oleh pencuri. Namun, tiba muncul akal cerdik si kera dengan melabur (mengecat) buah mentimum dengan kapur putih sehingga seluruh buah mentimun yang semula berwarna hijau berubah menjadi putih. Konon pula menurut kisah, sejak saat itu timun yang berasal dari utara Sumenep (Rubaru) warnanya putih.
Cerita rakyat diangkat ke atas panggung kian menarik ketika divisualisasikan dalam bentuk wayang (bajang pappa/ gelagar), dan vusalisai ini makin diperkuat ketika akan mengalihkan cerita dari bajang pappa ke topeng dhalang, yaitu dengan gerakan tangan dalang yang tengah nmemainkan wayang pappa kera putih tertarik kuat ke depan layar dalam guncangan yang demikian kuat . Wayang pappa jatuh dan dari balik layar keluar peraga dengan kostum kera Anoman. Menari dan mengitari panggung.
Perpindahan adegan diperkuat dengan suara dalang dan paneges yang memperkenalkan kehadiran kera Anoman yang telah berhasil melaksanakan tugas dari Rama untuk mengantarkan cincin kepada Dewi Shinta. Tapi sampai di taman Argaloka, Anoman tak mau kembali ke Anglengka, melainkan tetap di taman Argaloka dan memporak-porandakannya. Kisah Anoman di taman Argaloka, merupakan fragmen kisah dalam kisah topeng dhalang. Saat Anoman berada di Argaloka, keberadaannya di ketahui oleh Trijata, dan jatuh cinta dengannya. Suara dalang dan paneges saling bersahut melantungkan tembang-tembang artate (kasmaran);
Sattanangga esassa’ah/esebbidda noro’ lorong/ ce’ emanna se tapesa’a/ kare abit along-polong//
Ser-keseran obi manis/ jang-lajangan daunna nangka/ ker-pekkeran sambi nangis /jangbajangan sanggu dika//
(sapu tangannya mau dicucci/ disobeki sepanjang jalan/ sungguh berat mau berpisah// karena telah lama tinggal bersama//
Ser-keseran ubi manis/layangan dari daun nangka/ kepikiran ingat sama dikau/ada bayangan disangka dikau//)
Percintaan Anoman dan Trijata diketahui oleh Indrajit, dan membuatnya iri. Indrajit dikeroyok oleh pasukan kera kemudian menghindar datang kembali bersama rombongan pasukan perangnya. Sehingga terjadilah perang antara pasukan Anoman dengan pasukan perang Indrajit. Pengisahan ini semakin menarik dengan peran kendali dalang dalam menjalin cerita . Pada bagian akhir cerita dalang menghentikan peperangan dan meminta semua pasukan perang membuka topengnya. Ketika mereka disuruh berhenti perang, pasukan tersebut menjawab mereka disuruh dalang.
******
Revitalisasi tradisi lisan yang dilakukan oleh Agus Suharjoko, alumni ISI Jogjakarta yang bertindak sebagai sutradara pementasan dan Ahmad Darus sebagai dalang merupakan hal yang amat menarik untuk ditelaah. Terobosan baru dilakukan dengan memadukan Macopat , Kejungan dan Topeng Dhalang serta munculnya “Bajang Pappa / bajang Gelagar”. Keberhasilan revitalisasi ini terbukti dengan terpilihnya untuk mewakili Jawa Timur di tingkat Asia dalam forum festival seni tradisi yang akan dilaksanakan di Jakarta.
Keberhasilan yang mencoba mengemas beberapa fragmen kisah yang berbeda dalam satu untaian cerita yang bergerak lentur, serta memasukkan permasalahan aktual dalam jalinan cerita. Hadirnya beberapa peraga perempuan dalam adegan topeng yang berstatus pelajar merupakan hal baru, karena selama ini pemain topeng semuanya laki-laki. Suatu revitalisasi untuk mendekatkan generasi muda dengan seni tradisi (topeng dhalang) dan Macopat. Konon, inovasi ini dapat diterima oleh pelaku dan tokoh topeng dalang di Sumenep, karena peraga perempuan tidak berada sebagai pemeran utama.
Untuk mengakrabkan seni tradisi lisan dengan anak muda merupakan sesuatu yang menarik, untuk menemukan aktualisasinya. Hal ini tentu dapat dilakukan dengan melakukan aktualisasi cerita sesuai dengan budaya anak muda. Keinginan yang sempat diharapkan oleh Agus Suharjoko, dengan melibatkan anak SMA terlibat dalam setiap kegiatan seni tradisi di Sumenep. Hal ini bukan hal yang sulit apabila kita menengok pada revitalisasi lenong dengan aneka bentuknya yang muncul di panggung televisi.
Sumenep, 22 Nopember 2006
*penulis adalah penyair, dan aktif dalam kajian seni tradisi madura
0 komentar:
Posting Komentar