Oleh : Mahwi Air Tawar
Surat Kabar Minggu Pagi, 11 Januari 2007
Pertunjukan topeng tradisi berdurasi 30 menitan itu, diawali dengan iring-iringan para aktor dan pemusik dari belakang penonton. Ketika sang dhalang menyenandungkan tetembangan diiringi musik yang dinamis, sontak para penonton yang memadati studio Teater Mini TIM Jakarta akhir 2006 itu terkesiap.
Pertunjukan bertajuk Alalabang (Madura) yang pernah dipentaskan di Gedung P dan K Jawa Timur dan Balai Sinta Yogyakarta ini, mengisahkan cerita rakyat, seekor kera putih yang berguru kepada Kyai Barumbung. Dan pada suatu ketika, Kyai Barumbung memerintah kepada Kera putih agar menjaga mentimun miliknya yang seringkali hilang. Karena kepatuhannya, kera putih ini setelah dewasa menjelma menjadi Anoman. Dan Anoman suatu saat menjadi duta ke Argaloka. Di Argaloka anoman tergoda oleh seorang wanita hingga membuat tersinggungnya warga Argaloka. Maka, terjadilah peperangan yang seru antara Anoman dengan Indrajit yang sama-sama melibatkan pengikutnya, termasuk kera putih.
Alalabang artinya datang dari pintu ke pintu. Sejenis kesenian yang datang untuk ditanggap oleh orang yang menyukainya. Kini kesenian itu sudah punah. Maka untuk melestarikan perlu direvitalisasi. Sutradara Agus Suharjoko dengan beberapa seniman tradisi mencoba menghidupkan kembali dengan diberi warna dan nafas baru.
Pertunjukan tradisi Alalabang, tentu saja berbeda dengan konsep seni tradisi yang sudah ada. Kalau sebelumnya, alalabang ini hanya dilakukan ketika ada acara-acara pesta dan upacara desa, kali ini oleh sutradara Agus Suharjoko, S.Sn, diramu menjadi sajian pertunjukan modern yang dikolaborasikan dengan unsur-unsur kesenian lainnya, sepeti tari, teater, tak luput juga sastra lisan (macapat).
Tentu saja digubahnya kesenian tradisi dengan unsur-unsur pertunjukan modern sebagai upaya agar kesenian tradisi tetap diminati serta dapat dinikmati oleh generasi yang seringkali acuh terhadap kesenian-kesenian tradisi. Sebab, bukan tidak mungkin, ditengah-tengah carut marutnya kebudayaan, serta semakin mencuatnya produk-produk asing yang menyebabkan generasi kita memalingkan muka terhadap produk-produk kita sendiri. Termasuk terhadap kesenian tradisi tidak lain sebagai upaya merawat warisan budaya yang masih mungkin menjadi identitas budaya kita.
Hal demikian sebenarnya pernah dilakukan oleh seniman tradisi Ki Manteb Sudarsono, Ki Anom Suroto dari Solo. Namun kalau Ki Manteb Sudarono lebih pada teks, Agus Suharjoko (Alumnus ISI Yogyakarta) lebih pada bentuk gerak. Bukan berarti Agus ingin sepenuhnya menghilangkan konsep mutlak tradisi. Tapi, ia hanya ingin menyuarakan bahwa konsep tradisi bukanlah konsep paten yang tidak bisa digonta-ganti bentuknya.
Bukankah ditinggalkannya seni tradisi oleh peminatnya disebabkan bentuk kesenian itu sendiri yang statis? Sementara perkembangan terus beriring dengan warna-warni serba baru seiiring laju waktu yang tak mau kompromi. Lalu, sampai kapankah seni tradisi bernafas, ketika seniman tradisi hanya menggunakan konsep yang sama dari dulu hingga kini?
Kalau boleh saya bilang, bukan saatnya kesenian tradisi hanya melulu diidentifikasi dengan kepercayaan-kepercayaan tertentu, dengan bentuk-bentuk pertunjukan tradisi yang sudah semestinya diperbaharui. Tapi sebaliknya, saatnya seniman tradisi untuk terus mengikuti perkembangan, agar penciptaan keseniannya tidak statis dan tidak membosankan ketika dijadikan tontonan. Dan yang lebih penting, seniman harus mau berkompromi dengan selera penonton yang cendrung menginginkan sesuatu yang instan, agar kesenian tradisi tidak ditinggalkan. Mengutip pernyataan budayawan dan penyair D. Zawawi Imron, bahwa budaya asing bukan musuh, tetapi menghidupkan warisan budaya adalah tanggung jawab para generasi penerus.
Lebih jauh mencermati, esensi seni tradisi bukanlah seni yang purna atau seni yang sama sekali tidak bisa berubah atau tetap dalam pengertian mati (static). Sebagaimana yang ditulis Slamet Subiyantoro, bahwa, seni tradisi pada dasarnya adalah seni yang tidak statis, karena keberadaannya secara faktual, dari generasi ke generasi selalu mengalami tahapan penyempurnaan yang mewakili zamannya. Penyempurnaan yang lebih adaptif dengan tuntutan masyarakat pendukung kesenian merupakan bagian penting dalam proses kemantapan seni tradisi itu sendiri, sehingga seni tradisi semestinya harus dimaknai sebagai seni yang dinamis (dinamic art) dalam pengertian seni yang senantiasa membuka diri terhadap kemungkinan perubahan-perubahan (adaptive art), baik bentuk maupun fungsinya.
Pertunjukan alalabang yang disutradarai Agus Suharjoko, telah berhsil meramu berbagai unsur kesenian, merupakan satu upaya melakukan aktualisasi seni tradisi dengan memadukannya dengan konsep seni modern. Agus berhasil mengumpamakan panggung sebagai ruang yang bebas ekspresi, hingga siapapun yang menontonnya dapat menikmati hingga pertunjukan tuntas.
Pertunjukan bertajuk Alalabang (Madura) yang pernah dipentaskan di Gedung P dan K Jawa Timur dan Balai Sinta Yogyakarta ini, mengisahkan cerita rakyat, seekor kera putih yang berguru kepada Kyai Barumbung. Dan pada suatu ketika, Kyai Barumbung memerintah kepada Kera putih agar menjaga mentimun miliknya yang seringkali hilang. Karena kepatuhannya, kera putih ini setelah dewasa menjelma menjadi Anoman. Dan Anoman suatu saat menjadi duta ke Argaloka. Di Argaloka anoman tergoda oleh seorang wanita hingga membuat tersinggungnya warga Argaloka. Maka, terjadilah peperangan yang seru antara Anoman dengan Indrajit yang sama-sama melibatkan pengikutnya, termasuk kera putih.
Alalabang artinya datang dari pintu ke pintu. Sejenis kesenian yang datang untuk ditanggap oleh orang yang menyukainya. Kini kesenian itu sudah punah. Maka untuk melestarikan perlu direvitalisasi. Sutradara Agus Suharjoko dengan beberapa seniman tradisi mencoba menghidupkan kembali dengan diberi warna dan nafas baru.
Pertunjukan tradisi Alalabang, tentu saja berbeda dengan konsep seni tradisi yang sudah ada. Kalau sebelumnya, alalabang ini hanya dilakukan ketika ada acara-acara pesta dan upacara desa, kali ini oleh sutradara Agus Suharjoko, S.Sn, diramu menjadi sajian pertunjukan modern yang dikolaborasikan dengan unsur-unsur kesenian lainnya, sepeti tari, teater, tak luput juga sastra lisan (macapat).
Tentu saja digubahnya kesenian tradisi dengan unsur-unsur pertunjukan modern sebagai upaya agar kesenian tradisi tetap diminati serta dapat dinikmati oleh generasi yang seringkali acuh terhadap kesenian-kesenian tradisi. Sebab, bukan tidak mungkin, ditengah-tengah carut marutnya kebudayaan, serta semakin mencuatnya produk-produk asing yang menyebabkan generasi kita memalingkan muka terhadap produk-produk kita sendiri. Termasuk terhadap kesenian tradisi tidak lain sebagai upaya merawat warisan budaya yang masih mungkin menjadi identitas budaya kita.
Hal demikian sebenarnya pernah dilakukan oleh seniman tradisi Ki Manteb Sudarsono, Ki Anom Suroto dari Solo. Namun kalau Ki Manteb Sudarono lebih pada teks, Agus Suharjoko (Alumnus ISI Yogyakarta) lebih pada bentuk gerak. Bukan berarti Agus ingin sepenuhnya menghilangkan konsep mutlak tradisi. Tapi, ia hanya ingin menyuarakan bahwa konsep tradisi bukanlah konsep paten yang tidak bisa digonta-ganti bentuknya.
Bukankah ditinggalkannya seni tradisi oleh peminatnya disebabkan bentuk kesenian itu sendiri yang statis? Sementara perkembangan terus beriring dengan warna-warni serba baru seiiring laju waktu yang tak mau kompromi. Lalu, sampai kapankah seni tradisi bernafas, ketika seniman tradisi hanya menggunakan konsep yang sama dari dulu hingga kini?
Kalau boleh saya bilang, bukan saatnya kesenian tradisi hanya melulu diidentifikasi dengan kepercayaan-kepercayaan tertentu, dengan bentuk-bentuk pertunjukan tradisi yang sudah semestinya diperbaharui. Tapi sebaliknya, saatnya seniman tradisi untuk terus mengikuti perkembangan, agar penciptaan keseniannya tidak statis dan tidak membosankan ketika dijadikan tontonan. Dan yang lebih penting, seniman harus mau berkompromi dengan selera penonton yang cendrung menginginkan sesuatu yang instan, agar kesenian tradisi tidak ditinggalkan. Mengutip pernyataan budayawan dan penyair D. Zawawi Imron, bahwa budaya asing bukan musuh, tetapi menghidupkan warisan budaya adalah tanggung jawab para generasi penerus.
Lebih jauh mencermati, esensi seni tradisi bukanlah seni yang purna atau seni yang sama sekali tidak bisa berubah atau tetap dalam pengertian mati (static). Sebagaimana yang ditulis Slamet Subiyantoro, bahwa, seni tradisi pada dasarnya adalah seni yang tidak statis, karena keberadaannya secara faktual, dari generasi ke generasi selalu mengalami tahapan penyempurnaan yang mewakili zamannya. Penyempurnaan yang lebih adaptif dengan tuntutan masyarakat pendukung kesenian merupakan bagian penting dalam proses kemantapan seni tradisi itu sendiri, sehingga seni tradisi semestinya harus dimaknai sebagai seni yang dinamis (dinamic art) dalam pengertian seni yang senantiasa membuka diri terhadap kemungkinan perubahan-perubahan (adaptive art), baik bentuk maupun fungsinya.
Pertunjukan alalabang yang disutradarai Agus Suharjoko, telah berhsil meramu berbagai unsur kesenian, merupakan satu upaya melakukan aktualisasi seni tradisi dengan memadukannya dengan konsep seni modern. Agus berhasil mengumpamakan panggung sebagai ruang yang bebas ekspresi, hingga siapapun yang menontonnya dapat menikmati hingga pertunjukan tuntas.
0 komentar:
Posting Komentar