Senin, 31 Agustus 2009

MALIng SIAlan


catatan lepas tuk negriku


Seekor kucing mengendus dan melangkah kecil menuju rumah tetangga. Tak dihiraukannya situasi disekitar semak-semak yang mengelilingi rumah si tetangga tersebut. Walaupun sebenarnya ia menjadi pusat perhatian bersama karena tingkah lakunya yang norak, sok preman dan terkadang arif bijakasana.

Di rumah tetangga itu terlihat olehnya ribuan potensi tuk dimilikinya, namun dengan malu sebenanya ia sudah mencurinya untuk menjadi miliknya. Hal tersebut dibuktikan oleh seekor tikus yang mendapati kucing tersebut lagi menjadi diri yang lain alias tidak menjadi dirinya sendiri. Entah mungkin karena kurang kreatif atau sebaliknya si kucing tersebut super kreatif. Kenapa super kreatif, karena apa yang dilakukannya membuat warga rumah tetangga bak kebakaran jenggot dan astaga malah menghasilkan semangat memiliki dan menumbuhkan rasa nasionalisme.

Kucing tersebut sudah menjadi reog, tari pendet, lagu rasa sayange dan beberapa pulau serta sudah menjadikan dirinya sebagai lagu kebangsaan.
Tak ada rasa malu ia memilikinya..
Menendang dan menyundut tubuh-tubuh TKI dengan rokok serta gadis modelpun kau perkosa.
Dan tikuspun lari pontang panting tuk mengembalikan semua yang dimiliki oleh kucing tersebut kepada pemiliknya, rumah tetangganya. Namun entahlah, tak ada lagi kemampuan tuk menoleh.

Dasar maling sialan, gerutu si tikus dengan mengibarkan bendera kebangsaan yang pernah dijahit oleh ibu negara kita.
Dibenak si tikuspun penuh dengan berjubel pertanyaan...

Akankah negara yang kaya itu berisi maling-maling semuanya?
Akankah negara tetangga itu sudah memercikkan api lagi sehingga menginginkan slogan anti maling sialan itu, seperti saat proklamator kita menghentakkan idealisme kebangsaan pada waktu itu. Sehingga suara rakyat kita baik diatas bumi sampai di dasar laut benar-benar bulat tuk melibasnya.

Akankah negara yang satu rumpun tersebut kita biarkan menginjak rasa kemanusian kita dan mencabik-cabik rasa persaudaraan dengan darah dan nafas karena merasa telah berjasa mendatangkan nilai devisa?, tikus terpekur sambil menatap liar tingkah si kucing yang lagi berak diatas karpet permadani.

Kita harus saling menghormati sebagai tetangga,
Kita harus saling mengerti dengan keberadaan kita,
Kita harus mampu berjiwa besar dengan perampokan kebangsaan yang tiada nilainya itu,
Dan kita harus mulai sadar akan arus globalisasi di segala lini ini....
Tikus itu mengakhiri isi pidato pagi itu.

Dan kucingpun semakin tak sanggup untuk memiliki yang sedang tikus punya.

Apakah negeri ini akan kita biarkan sebagai tempat sorgawi bagi para tikus-tikus tersebut ? pertanyaan itu menyadarkanku dari mimpi tidur pulas malam ini.

Aku manusia, namun negriku berisi jutaan tikus-tikus yang lagi pada dimabuk politik dan segala pernak-pernik kekuasaan, sehingga tak lagi mampu menyuarakan kebenaran serta harkat kita sebagai negara besar. Negara yang pernah dihormati dan disegani oleh negara-negara dimuka bumi ini. Ya...memang sekarang negeri ini lagi rapuh, lagi reot dan tak lagi punya nafas nasionalisme.... yang ada hanya semangat basionalisme.

Tak sadar aku sudah dikepung oleh ribuan tikus yang siap menyantapku dengan mata yang berdarah-darah dan gigi-gigi yang runcing.
Sekali lagi aku tak menyerah...
Dan kukibarkan sang saka merah putih di degub jantungku.
Lalu kucingpun mencabik tubuhku
Dan kuterkapar dengan diiringi lagu Padamu Negri. (by. Agus Suharjoko)

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut

 

TANAH KAPOR | Creative Commons Attribution- Noncommercial License | Dandy Dandilion Designed by Simply Fabulous Blogger Templates