Rabu, 09 September 2009

DEKONSTRUKSI SENI TRADISI

Oleh: Sunlie Thomas Alexander*

MUNGKINKAH sebuah kesenian yang telah dianggap ikon tradisi dan dipakemkan mengalami dekonstruksi? Barangkali banyak pihak akan serta-merta “berang” jika pertanyaan ini dilontarkan, apalagi pihak yang merasa sebagai pemilik (dan pelaku) kesenian tradisi tersebut. Tetapi bagi Agus Suharjoko, S.Sn, sutradara dan konseptor Seni Tradisi Topeng Dhalang “Rukun Pewaras” Sumenep, Madura, jawaban bagi pertanyaan ini adalah amat memungkinkan, bahkan harus diupayakan, meskipun kemudian bakal mendapatkan tantangan keras dari masyarakat sosial-budaya di mana seni tradisi itu bersumber. Dan kemungkinan dekonstruksi terhadap seni tradisi semacam ini telah direalisasikan oleh alumnus jurusan Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tersebut bersama komunitas “Rukun Pewaras”-nya dalam pentas di “Festival Tradisi Lisan Alalabang” di Gedung Wanitatama, Yogyakarta beberapa waktu lalu.

Topeng Dhalang merupakan suatu kesenian tradisi semacam wayang orang yang berasal dari masyarakat Madura, di mana semua pemainnya mengenakan topeng dengan seorang dalang sebagai narator dan “pembicara”. Biasanya, kesenian ini sering digandeng dengan macapat (mamacat), sebuah seni tradisi lisan (seperti berpantun) yang hidup di Madura. Secara tradisi, kelompok-kelompok kesenian ini diundang ke berbagai acara, dari yang ritual hingga yang bersifat hiburan. Tradisi keliling memenuhi permintaan dari masyarakat inilah yang disebut sebagai Alalabang (mengamen).

Seni Tradisi Topeng Dhalang yang dipentaskan dalam Festival Tradisi Lisan Alalabang di Yogyakarta oleh komunitas “Rukun Pewaras” boleh dikatakan memang memiliki suatu warna baru yang telah berbeda dibandingkan dengan pakem yang selama ini dikenal oleh masyarakat sumbernya, tetapi tetap tidak kehilangan aura dan spirit lama.

Menurut Ahmad Darus, penata musik kelompok Topeng Dhalang “Rukun Pewaras”, seni Topeng Dhalang yang mereka pentaskan sudah mengalami banyak perubahan (baca: pembaharuan), baik dari segi gerak, bloking, bahasa, durasi, maupun cerita. Dan pembaharuan dimungkinkan karena perubahan tatanan sosial-budaya di masyarakat sumber seni tradisi tersebut, baik itu dari paradigma berpikir maupun pengeseran nilai-nilai dalam hubungannya dengan kondisi berkesenian.

Usaha seperti ini sesungguhnya bukanlah sekedar ikhtiar agar seni tradisi tetap lestari tetapi juga memberikan berbagai dimensi baru bagi kebudayaan tradisi tanpa harus terjebak oleh cita-cita luhur berlebihan sebagai penjaga tradisi (lama). Upaya dekonstruksi seni tradisi justru memiliki kepentingan sebagai usaha pelestarian yang handal. Tantangan terbesar dari kesenian tradisi di mana pun dalam berhadapan dengan modernisasi dan globalisasi adalah perubahan pemaknaan fungsi dan perannya, terutama ketika berbenturan dengan seni kontemporer dan kepentingan pariwisata. Dan ini telah menjelma menjadi sebuah tuntutan, yang apabila tidak segera ditanggapi dengan kreatif, mengandung resiko ditinggalkan oleh masyarakat “baru”. Orang-orang muda yang dapat menghafal tradisi dan menyenangi seni tradisi semakin sedikit dan tradisi terancam punah.

Perubahan nilai dan paradigma sosial masyarakat dalam konteks hubungan dengan seni dan penikmat seni ini merupakan satu hal penting yang harus disiasati dengan kreatif tanpa mesti dikhawatirkan akan mencairkan kemurnian seni tradisi menjadi kitsch sebagai akibat logis dari pertumbuhan masyarakat.

Arogansi Pelaku Lama

Tantangan yang muncul dalam upaya dekonstruksi sebuah seni tradisi dalam kaitannya dengan usaha melanggengkan seni tradisi itu sendiri dalam perkembangan masyarakat dan memperkenalkannya kepada masyarakat luas di luar lingkup sosial-budaya sumber, biasanya terutama memang berasal dari masyarakat lama sumber seni tradisi tersebut. Baik dari masyarakat sosial yang merasa sebagai pemilik sah kesenian itu maupun dari para pelakunya.

Sering kita dengar ungkapan atau celetukan, kalau sebuah kesenian tradisi yang dipentaskan bukan seperti itu, atau itu bukan yang asli. Persoalan seperti inilah yang sempat dikemukakan dalam diskusi kecil di sebuah kedai kopi di daerah Papringan, Yogyakarta usai pementasan Topeng Dhalang yang dihadiri oleh seluruh awak komunitas “Rukun Pewaras” Sumenep, Madura dan sejumlah seniman muda Yogyakarta. Menurut Ahmad Darus, tantangan-tantangan itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, seni tradisi kerap dipandang sebagai suatu “tradisi agung” dalam hubungannya dengan ritual oleh masyarakat sumbernya. Kedua, ketakutan akan kehilangan lahan (dalam konteks sebagai mata pencaharian) dari sebagian pelaku seni tradisi, di mana para pelaku lama memiliki kekhawatiran akan tergusur oleh setiap inovasi kreatif yang dilakukan. Hal ini kemudian muncul ke permukaan sebagai suatu arogansi yang terkadang sangat galak dan menisbikan segala dialog estetis dan proses kreatif yang hendak melakukan penemuan dan pemeriksaan ulang.

Padahal sebuah upaya dekonstruksi tidak akan mengadakan “lepas hubungan” dengan akar kebudayaannya tetapi malah menghasilkan sesuatu yang lebih komprehensif dan membuat idiom seni tradisi itu dipahami oleh lingkungan yang lebih luas. Dengan dekonstruksi, dalam proses integrasi dan modernisasi secara paradoksal, sesungguhnya seni tradisi dapat menjadi juru bicara yang piawai dalam mengaitkan unsur lama dengan unsur baru.

Gagasan tentang warisan kultural yang masih seringkali dipandang sebagai aset penting yang harus dilindungi dalam rangka mencari identitas yang dilandasi hasrat sederhana untuk mengabadikan kegemilangan masa lampau, justru meletakkan gagasan itu dalam ruang yang stagnan—menolak perspektif baru tanpa memahami suatu kreativitas berkesenian dalam konteks perkembangan masyarakat.

Saya selalu menyakini kesenian haruslah dilahirkan kembali diri-sosialnya untuk bertahan dalam proses integrasi dan modernisasi. Karena itu selalu diperlukan kearifan untuk mencari dan menemukan kembali letak, peran, fungsi dan makna sosial dari seni di tengah masyarakat yang terus berubah agar seni itu mampu bertahan. Seni tradisi tidak mesti mengabdi kepada harmoni dan keseimbangan abadi dalam kosmos, sehingga hanya terperangkap sebagai bentuk seni dalam kenikmatan lanskap yang agraris dan feodal.

Menurut Umar Kayam, ini semua tidak berarti seni tradisi itu dalam kesediaannya untuk mentransformasi kemunculannya dalam bentuk yang menyimpang dari pakem (baca; kemurnian) dianggap sebagai “korupsi seni” demi kepentingan baru yang kita tahu adalah bagian yang penting dari proses integrasi dan modernisasi. Seni tradisi sungguh dapat menjadi perantara yang menyenangkan.

Sardono, ketika mencoba menafsirkan kembali tarian Cak yang tradisional dengan suatu eksprimen baru pernah mendapat tantangan hebat dari masyarakat Teges, Bali. Penjelajahan ke pelbagai kemungkinan baru, katakanlah sebuah avantgardisme ini berbenturan dengan wilayah di mana norma-norma umum ikut andil dalam membentuk penilaian dan paradigma seni.

Dalam kasus Sardono, kita bisa melihat bagaimana sebuah sistem ekologi bereaksi terhadap salah satu milik kelengkapannya dalam hal ini seni tari Cak yang sedang “diganggu” oleh “tangan luar”. Masyarakat tersebut, setidak-tidaknya sebagian penting dari lapisnya, merasa terancam akan fungsi kelengkapan dari seni tari Cak yang dianggap telah mapan. Sebuah kegagapan dalam memaknai identitas.

Penemuan Kreatif Renewal

Sesungguhnya setiap seni selalu terbuka bagi penafsiran baru. Inilah yang agaknya dipahami oleh komuntas “Rukun Pewaras” Sumenep, Madura dalam upaya interpretasi ulang terhadap seni tradisi Topeng Dhalang Madura.

Tetapi, seperti yang diakui oleh Agus Suharjoko, S.Sn, tidak semua hal dalam seni tradisi Topeng Dhalang memerlukan dekonstruksi, terutama menyangkut unsur-unsur filosofis yang berkaitan dengan local genius dan nilai religi yang dikandung seni tradisi tersebut. Tantangan filosofis seni tradisi inilah yang menuntut kearifan seniman dalam proses kreatifnya. Agus Suharjoko, S.Sn mencontohkan bloking dalam Topeng Dhalang yang berbentuk angka delapan dan segitiga misalnya, ketika diganti dengan bloking diagonal seperti yang pernah dicobanya, ternyata justru melemahkan spirit dan aura dari seni tradisi tersebut. Nilai-nilai filosofis seperti ini menurutnya, amat membutuhkan kajian serius baik dari disiplin ilmu seni itu sendiri maupun ilmu agama, yang selama ini belum banyak disentuh.

Ada semacam kebiasaan yang mesti disadari, seni tradisi sebenarnya tidak terlalu banyak berhubungan dengan formulasi dan teknik, tetapi pada laku diri dan ritus. Afrizal Malna pernah mengungkapkan kalau dalam berbagai khazanah tradisi, tubuh tidak direpresentasi. Sebuah seni tradisi lebih merepresentasikan “kehadiran” yang lain. Tubuh menjalankan ritual, puasa, meditasi dan syarat-syarat lain yang tidak teknis sifatnya. Tubuh menjadi bahasa justru karena dijalankan lewat laku diri.

Hal tersebut diakui oleh Ahmad Darus, tetapi menurutnya laku diri ini dalam Topeng Dhalang sifatnya lebih personal. Karena itu sentuhan teknik dari seorang seniman akademis seperti Agus Suharjoko, S.Sn, memang mesti lebih hati-hati ketika melakukan akademitisasi agar tubuh tidak cenderung terjebak dalam kekosongan teknik.

Menghadapi apa yang disebut “perubahan sosial” dan pergeseran nilai-nilai masyarakat, juga dalam upaya memperkenalkan seni tradisi kepada khalayak yang lebih luas, komunitas “Rukun Pewaras” dengan sadar mencoba mendekonstruksi bahasa (dari bahasa Madura ke bahasa Indonesia), durasi (dari semalaman menjadi satu-dua jam, bahkan lima belas menit), dan cerita (dari pakem menjadi carangan-temporary) sebagai usaha menyingkapi modernisasi dan kemajuan teknologi dengan masyarakat yang cenderung hedonis, serba instant, dan hidup dalam mobilitas yang tinggi

Di tengah tatanan masyarakat seperti ini, seni tradisi dengan pola lama akan sulit bertahan mengingat terbatasnya waktu dan ruang yang tersedia dan sikap hidup masyarakat yang termanjakan oleh kemudahan teknologi. Hanya seni tradisi yang mampu mengaktualisasi dirinya dan lentur dalam mengimbangi perkembangan jamanlah yang mampu bertahan meski tidak harus terjebak dalam kitsch ketika misalnya dipentaskan di hotel-hotel atau demi kepentingan pariwisata.

Seni tradisi bagi saya, akan senantiasa dapat memainkan perannya yang konstruktif demi ide-ide baru bagi perkembangan. Masalahnya adalah seberapa jauh tingkat adaptasinya dari unsur-unsur lama bagi perkembangan baru tersebut dan berapa lentur nilai estetika baru itu menjadi ide ketika seni tradisi dipisahkan dari kesatuan kosmosnya.

Ada banyak alasan untuk mempersoalkan kemurnian tradisi, tetapi tidak serta-merta menjadikannya barang mati. Asumsi yang mengganggap sesuatu yang baru, dekat pengaruh dari luar tradisi dan dipahami sebagai kemajuan ketika berbenturan dengan sumbernya memang sering menimbulkan konfrontasi lantaran kekurangan kenal dari referensi seni itu sendiri, di samping seni tersebut terlanjur menjadi barang jiplakan terus-menerus.

Seni sebagai salah satu unsur kebudayaan dalam narasi yang lebih besar tak seharusnya mandek sementara kebudayaan itu terus mengalami perkembangan seiring dengan jaman. Sumber-sumber tradisi harus memilih, tinggal dalam kegagapan mencari identitas semu atau mengaitkan diri dengan perubahan dunia dan karena itu tak minder menyejajarkan diri dengan seni tradisi di belahan bumi mana saja, serta arif dan kreatif memanfaatkan sumber-sumber tradisi di mana pun sebagai ide penciptaan maupun pemaknaan yang segar.***

* Penulis adalah cerpenis, belajar Seni Rupa di Institut Seni Indonesia dan Teologi-Filsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut

 

TANAH KAPOR | Creative Commons Attribution- Noncommercial License | Dandy Dandilion Designed by Simply Fabulous Blogger Templates