(Alalabang, merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan tradisi di Sumenep –Madura yang memadukan antara seni macopat, wayang gelagar, dan topeng dhalang. Seni pertunjukan ini terpilih untuk ,mewakili Jawa Timur pada Festival Seni Tradisi Lisan se Asia yang akan diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 1 –4 Desember 2006)
***
Seni pertunjukan merupakan bagian dari tradisi masyarakat agraris yang memiliki hubungan dengan adat kebiasaan setempat. Suatu bagian dari keseharian dalam tradisi masyarakat petani yang berhubungan dengan sistem kehidupan mereka, daur kehidupan maupun dalam upacara keagaamaan. Di masanya seni pertunjukan tersebut mengadakan pentas dengan mendatangi rumah penduduk atau didatangkan untuk memenuhi hajat tertentu. Biasanya hajat yang diikuti dengan seni pertunjukan tersebut, berupa selamatan bumi (Rokat Bumi), selamatan karena punya niatan di lakukan di kuburan para sepuh (Bujuk) dinamakan Rokat Bujuk. Pertunjukan tersebut memiliki pola dan pakem yang standar, yaitu mereka mendatangi kuburan sesepuh (Bujuk) dengan membawa beberapa sesaji, acara doa tertentu, dan di antaranya terdapat pertunjukan yang dapat dijadikan tontonan dan tuntunan. Rokat Bujuk ini menjadi totik fokus garapan Alalabang. Sampai saat ini rokat bujuk menjadi pertunjukan rutin sertiap musim panen di desa Bun Bara’ – Rubaru.Di desa ini rokat bujuk dilakukan ke “Bujuk Barumbung”,makam Kiai Agung Barumbung, yang sampai saat ini dipercayai masyarakatnya sebagai kuburan keramat. Dalam Rokat bujuk biasanya dibacakan macopat tembang Artate dan Sengkle.
Pola pertunjukan seni tradisitersebut selalu dipertahankan secara temurun, menjadi suatu kekayaan budaya yang khas bagi setiap daerah, juga di Sumenep. Kekayaan seni tradisi baik berupa seni lisan (macopat), solo’an, tari /teater dan Topeng Dhalang menarik perhatian Agus Suharjoko dan Ahmad Darus bersama komunitasnya untuk mengemas kembali seni tradisi dan dipadukan dengan seni pertunjukan modern. Konsep perpaduan yang berpijak dari konsep rokat bujuk untuk dijadikan sumber inspirasi dalam seni pertunjukan Alalabang.
Alalabang, berasal dari kata labang, berarti pintu. Dimaksudkan seni pertunjukan tradisi di Sumenep (Madura) pada mulanya melakukan pertunjukan dari pintu ke pintu atau di undang untuk mendatangi rumah yang punya hajat. Rombongan Topeng dalang biasanya mendapatkan undangan pentas pada saat mengadakan pertunjukan., sehingga ketika manggung bisa berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya selama beberapa hari tanpa sempat pulang ke keluarganya.
Dalam konsep pertunjukan Alalabang, mengambil tiga unsur seni tradisi; sastra lisan (macopat), Solo’an, dan Topeng Dhalang dipadukan dengan seni modern yang dipadukan berupa “Tari Mothak” (tari monyet).
Konsep panggung dengan dengan mermeergunakan layar topeng dalang sebagai background dengan peralatan musik saronen, siter, saron, gender, dan seperangkat gamelan.Salenthem, gendang, siak (kecrek). Jenis Gending: kennnong tello’, sarama’an, giroan (gending kasar), dan kejungan. Sementara tokoh topeng yang ditampilkan Anoman, pasusukan anoman, Indrajit dan pasukan Indrajit, serta Trijata. Nayaga dan para pemain termasuk dalang dan apneges tidak langsung berada di panggung. Saat musik gamelan dan saronen mulai dibunyikan rombongan musik diiringi dengan bacaan tembang , para pemain berjalan menuju ke arena pementasan.
Sastra lisan (macopat), dalam konsep alalabang merupakan media efektif untuk menyampaikan pesan dan memainkan improvisasi oleh penembang atau dalang. Dalam keleluasaan mengimprovisasi lakon, pertunjukan alalabang diawali macopat dan bajang gelagar, wayang yang terbuat dari tangkai daun singkong. Atau juga bajang pappa bisa terbuat dari pelepah pohon pisang.Mengisahkan cerita “Temon Pote” atau “Timun Putih” mengisahkan seekor kera yang dipelihara K. Agung Berumbung. Dalam kisah tersebut, kera diberi tugas untuk menjaga tanaman timun yang ditanam sang kiai. Mendapat tugas dari majikannya kera kemudian punya inisiatif mengecat timun tersebut dengan warna putih, sehingga terlihat jelas di malam hari, dan terlihat apabila hilang atau diambil pencuri. Konon kisah tersebut menyebabkan timun yang berasal dari daerah Barumbung (Sumenep) warna kulitnya berwarna putih kehijauan. Saat memainkan lakon cerita “Temon Pote” dalang memainkan wayang gelagar/ pappa, suatu bentuk simbolisasi bahan cerita yang dekat dengan kultur agraris setempat. Transisi penceritaan wayang gelagar ke topeng dhalang diawali dengan tarikan kuat wayang gelagar ke depan layar topeng yang ada di panggung. Wayang gelagar yang mewakili sosok kera putih terjatuh dan dari balik layar muncul peraga (penari) berkostum kera (Anoman).
Pertunjukan bergerak ke panggung dibuka Anoman yang tengah berada di taman Argasoka yang telah berhasil melaksanakan tugas Rama, menyampaikan cincin kepada Dewi Sinta. Anoman tidak mau kembali ke Anglengka tetapi tetapi memporak-porandakan Argaloka. Keberadaan Anoman di Argaloka diketahui oleh Trijata (diperagakan oleh laki-laki yang bgerperan sebagai perempuan). Trijata jatuh cinta kepada Anoman, dan percintaan mereka diketahui oleh Indrajit, membuatnya iri. Indrajit dikeroyok oleh pasukan Anoman. Ia lari dan kembali lagi dengan pasukannya untuk melawan pasukan Anoman. Perang tak dapat dihindarkan. Ending yang cukup menarik dalam pertunjukan ini, dalang memutus cerita peperangan. Dalang memerintah kepada pasukan indrajit dan anoman untuk membuka Tatopong (Topeng). Setelah membuka topeng yang dikenakan mereka berhenti melakukan perang. Suatu filosofi yang ingin menyampaikan pesan bahwa pertengkaran tidak akan menyelesaikan masalah. Bahwa pertikaian yang terjadi karena banyaknya kepentingan yang mengintervenbsi dalam kehidupan kita sehingga kita lalai kepada sesamanya.
*****
Pertunjukan yang disutradarai Agus Suhardjoko alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan dalang Ahmad. Darus merupakan sebuah upaya melakukan revitalisasi seni tradisi dipadukan dengan konsep seni modern. Mengumpamakan panggung sebuah bujuk, maka para peraga berada di luar arena (panggung) untuk membawa sesasji atau melakukan pertun jukan.
Sebuah revitalisasi dengan memasukkan cerita atau permasalahan aktual dalam lakon (macopat) dan memadukan tari mothak ke dalam topeng dhalang.Ikon mothak dalam pertunjukan ini cukup menarik berangkat dari kisah mothak atau kera yang dipelihara Kiai Agung Barumbung yang bisa memahami keinginan manusia. Adegan yang memiliki makna bahwa kera saja bisa berubah karena didikan manusia, apalagi manusia yang berakal.
Keberanian memasukkan peraga perempuan dalam tari mothak. Hadirnya penari perempuan dalam topeng dalang merupakan hal baru, karena sebelumnya topeng dalang Sumenep diperagakan oleh peraga laki-laki. Namun hal ini tidak merusak pakem karena, peran perempuan bukan sebagai peraga utama. Namun tantangan ke depan yang cukup menarik , adalah bagaimana mengolah seni tradisi pertunjukan Alalabang menjadi media untuk mengakrabkan kembali generasi muda dengan seni tradisi leluhurnya. Tentunya dibutuhkan keberanian untuk mendekati budaya kaum muda sehingga dapat menjalin matarantai seni tradisi di tengah masyarakatnya.
Hidayat Raharja adalah penyair, dan aktif dalam kajian seni tradisi madura
Alamat rumah: Perumahan Bumi Sumekar Asri
Jl. Dewi Sartika IX/12 Kolor – Sumenep
***
Seni pertunjukan merupakan bagian dari tradisi masyarakat agraris yang memiliki hubungan dengan adat kebiasaan setempat. Suatu bagian dari keseharian dalam tradisi masyarakat petani yang berhubungan dengan sistem kehidupan mereka, daur kehidupan maupun dalam upacara keagaamaan. Di masanya seni pertunjukan tersebut mengadakan pentas dengan mendatangi rumah penduduk atau didatangkan untuk memenuhi hajat tertentu. Biasanya hajat yang diikuti dengan seni pertunjukan tersebut, berupa selamatan bumi (Rokat Bumi), selamatan karena punya niatan di lakukan di kuburan para sepuh (Bujuk) dinamakan Rokat Bujuk. Pertunjukan tersebut memiliki pola dan pakem yang standar, yaitu mereka mendatangi kuburan sesepuh (Bujuk) dengan membawa beberapa sesaji, acara doa tertentu, dan di antaranya terdapat pertunjukan yang dapat dijadikan tontonan dan tuntunan. Rokat Bujuk ini menjadi totik fokus garapan Alalabang. Sampai saat ini rokat bujuk menjadi pertunjukan rutin sertiap musim panen di desa Bun Bara’ – Rubaru.Di desa ini rokat bujuk dilakukan ke “Bujuk Barumbung”,makam Kiai Agung Barumbung, yang sampai saat ini dipercayai masyarakatnya sebagai kuburan keramat. Dalam Rokat bujuk biasanya dibacakan macopat tembang Artate dan Sengkle.
Pola pertunjukan seni tradisitersebut selalu dipertahankan secara temurun, menjadi suatu kekayaan budaya yang khas bagi setiap daerah, juga di Sumenep. Kekayaan seni tradisi baik berupa seni lisan (macopat), solo’an, tari /teater dan Topeng Dhalang menarik perhatian Agus Suharjoko dan Ahmad Darus bersama komunitasnya untuk mengemas kembali seni tradisi dan dipadukan dengan seni pertunjukan modern. Konsep perpaduan yang berpijak dari konsep rokat bujuk untuk dijadikan sumber inspirasi dalam seni pertunjukan Alalabang.
Alalabang, berasal dari kata labang, berarti pintu. Dimaksudkan seni pertunjukan tradisi di Sumenep (Madura) pada mulanya melakukan pertunjukan dari pintu ke pintu atau di undang untuk mendatangi rumah yang punya hajat. Rombongan Topeng dalang biasanya mendapatkan undangan pentas pada saat mengadakan pertunjukan., sehingga ketika manggung bisa berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya selama beberapa hari tanpa sempat pulang ke keluarganya.
Dalam konsep pertunjukan Alalabang, mengambil tiga unsur seni tradisi; sastra lisan (macopat), Solo’an, dan Topeng Dhalang dipadukan dengan seni modern yang dipadukan berupa “Tari Mothak” (tari monyet).
Konsep panggung dengan dengan mermeergunakan layar topeng dalang sebagai background dengan peralatan musik saronen, siter, saron, gender, dan seperangkat gamelan.Salenthem, gendang, siak (kecrek). Jenis Gending: kennnong tello’, sarama’an, giroan (gending kasar), dan kejungan. Sementara tokoh topeng yang ditampilkan Anoman, pasusukan anoman, Indrajit dan pasukan Indrajit, serta Trijata. Nayaga dan para pemain termasuk dalang dan apneges tidak langsung berada di panggung. Saat musik gamelan dan saronen mulai dibunyikan rombongan musik diiringi dengan bacaan tembang , para pemain berjalan menuju ke arena pementasan.
Sastra lisan (macopat), dalam konsep alalabang merupakan media efektif untuk menyampaikan pesan dan memainkan improvisasi oleh penembang atau dalang. Dalam keleluasaan mengimprovisasi lakon, pertunjukan alalabang diawali macopat dan bajang gelagar, wayang yang terbuat dari tangkai daun singkong. Atau juga bajang pappa bisa terbuat dari pelepah pohon pisang.Mengisahkan cerita “Temon Pote” atau “Timun Putih” mengisahkan seekor kera yang dipelihara K. Agung Berumbung. Dalam kisah tersebut, kera diberi tugas untuk menjaga tanaman timun yang ditanam sang kiai. Mendapat tugas dari majikannya kera kemudian punya inisiatif mengecat timun tersebut dengan warna putih, sehingga terlihat jelas di malam hari, dan terlihat apabila hilang atau diambil pencuri. Konon kisah tersebut menyebabkan timun yang berasal dari daerah Barumbung (Sumenep) warna kulitnya berwarna putih kehijauan. Saat memainkan lakon cerita “Temon Pote” dalang memainkan wayang gelagar/ pappa, suatu bentuk simbolisasi bahan cerita yang dekat dengan kultur agraris setempat. Transisi penceritaan wayang gelagar ke topeng dhalang diawali dengan tarikan kuat wayang gelagar ke depan layar topeng yang ada di panggung. Wayang gelagar yang mewakili sosok kera putih terjatuh dan dari balik layar muncul peraga (penari) berkostum kera (Anoman).
Pertunjukan bergerak ke panggung dibuka Anoman yang tengah berada di taman Argasoka yang telah berhasil melaksanakan tugas Rama, menyampaikan cincin kepada Dewi Sinta. Anoman tidak mau kembali ke Anglengka tetapi tetapi memporak-porandakan Argaloka. Keberadaan Anoman di Argaloka diketahui oleh Trijata (diperagakan oleh laki-laki yang bgerperan sebagai perempuan). Trijata jatuh cinta kepada Anoman, dan percintaan mereka diketahui oleh Indrajit, membuatnya iri. Indrajit dikeroyok oleh pasukan Anoman. Ia lari dan kembali lagi dengan pasukannya untuk melawan pasukan Anoman. Perang tak dapat dihindarkan. Ending yang cukup menarik dalam pertunjukan ini, dalang memutus cerita peperangan. Dalang memerintah kepada pasukan indrajit dan anoman untuk membuka Tatopong (Topeng). Setelah membuka topeng yang dikenakan mereka berhenti melakukan perang. Suatu filosofi yang ingin menyampaikan pesan bahwa pertengkaran tidak akan menyelesaikan masalah. Bahwa pertikaian yang terjadi karena banyaknya kepentingan yang mengintervenbsi dalam kehidupan kita sehingga kita lalai kepada sesamanya.
*****
Pertunjukan yang disutradarai Agus Suhardjoko alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan dalang Ahmad. Darus merupakan sebuah upaya melakukan revitalisasi seni tradisi dipadukan dengan konsep seni modern. Mengumpamakan panggung sebuah bujuk, maka para peraga berada di luar arena (panggung) untuk membawa sesasji atau melakukan pertun jukan.
Sebuah revitalisasi dengan memasukkan cerita atau permasalahan aktual dalam lakon (macopat) dan memadukan tari mothak ke dalam topeng dhalang.Ikon mothak dalam pertunjukan ini cukup menarik berangkat dari kisah mothak atau kera yang dipelihara Kiai Agung Barumbung yang bisa memahami keinginan manusia. Adegan yang memiliki makna bahwa kera saja bisa berubah karena didikan manusia, apalagi manusia yang berakal.
Keberanian memasukkan peraga perempuan dalam tari mothak. Hadirnya penari perempuan dalam topeng dalang merupakan hal baru, karena sebelumnya topeng dalang Sumenep diperagakan oleh peraga laki-laki. Namun hal ini tidak merusak pakem karena, peran perempuan bukan sebagai peraga utama. Namun tantangan ke depan yang cukup menarik , adalah bagaimana mengolah seni tradisi pertunjukan Alalabang menjadi media untuk mengakrabkan kembali generasi muda dengan seni tradisi leluhurnya. Tentunya dibutuhkan keberanian untuk mendekati budaya kaum muda sehingga dapat menjalin matarantai seni tradisi di tengah masyarakatnya.
Hidayat Raharja adalah penyair, dan aktif dalam kajian seni tradisi madura
Alamat rumah: Perumahan Bumi Sumekar Asri
Jl. Dewi Sartika IX/12 Kolor – Sumenep
0 komentar:
Posting Komentar