Oleh : Evi Idawati
Surat Kabar Minggu Pagi, 1 oktober 2006
Panggung dengan dominasi warna merah dan hitam tergelar, irama gamelan mengalun memenuhi ruangan. Iring-iringan dipimpin oleh dalang dengan langkah khusuk berjalan pelan menuju rokat somber (tempat wingit). Sepertinya sebuah upacara akan dimulai. Tak ada yang bersuara, masing-masing asyik dengan pikiran dan perasaannya. Dengan membawa wayang rumput, dalang memimpin rombongan. Saat tiba di tempat, para pelaku menempatkan diri, dhalang menancapkan wayang, musik belum berhenti. Sebuah kisah dihamparkan, mengawali malam.
Lalu tetembangan diperdengarkan, legenda asal-usul timun putih yang merupakan buah mentimun khas Sumenep dilantunkan. Konon, dulu mentimun berwarna hijau, tumbuh di dalam tanah. Ke (kyai) Agung Karamat, seorang ulama yang tinggal di mata air (Barumbung) menugaskan seekor kera putih (mothak pote) untuk menjaganya, agar tidak dicuri atau dimangsa hewan lainnya. Kera putih punya akal mengeluarkan semua mentimun itu dari dalam tanah. Memberi warna dengan kapur putih sehingga mudah terlihat meskipun malam hari. Kebun mentimun aman dari pencurian, hingga akhirnya mentimun yang semula berwarna hijau, berubah menjadi putih khas dari Sumenep sampai sekarang.
Itulah bagian pertama kisah yang diangkat oleh Agus Suharjoko, S.Sn, sebagai sutradara, mengawali festival Seni Tradisi Lisan yang diselenggarakan di Yogyakarta beberapa hari lalu. Pertunjukan masih belum selesai sampai disitu, saat babak kedua ditampilkan tentang sejarah Klana Tanjung Seta yaitu tentang kelahiran manusia dengan berbagai nafsunya. Ada manusia yang berhati mulia meski berwujud seekor kera, bernama Hanoman. Yang menjalankan tugas Rama, mengantarkan cincin untuk Dewi Sinta. Hanoman tak sekedar bertugas, namun juga ingin merusak taman Argasoka. Muncullah Trijata, putra Gunawan Wibisana yang was-was terhadap Hanoman, sekaligus jatuh hati padanya. Hanoman berusaha setia dengan tugasnya, tetap ingin merusak taman. Sampai akhirnya muncul Indrajit putra Rahwana yang mencegah dan melawan Hanoman. Perang diantara keduanya tak terelakkan.
Tiga komposisi yang ditampilkan malam itu, terasa sekejap dan memikat. Agus sengaja tidak membiarkan penonton jenuh dan berlama-lama. Jika melihat teks aslinya yang enam jam dan dipadatkan dalam waktu tiga puluh menit, sebagai sutradara Agus sadar harus menampilkan momen-momen istimewah. Dengan penggarapan dengan menggunakan konsep teater modern, seni tradisi yang meliputi mamaca, topeng dhalang dan wayang rumput terkolaborasi dengan manis.
Padahal ketiganya adalah komposisi yang berbeda dan tidak berhubungan satu dengan yang lain. Tetapi ditangan Agus ketiganya tersaji dalam tigapuluh menit yang mengesankan. Bagi penonton yang tidak mengerti bahasa Madura pun, irama yang ditampilkan saat pembacaan mamaca (macapat) bisa dinikmati. Perpaduan dhalang dan penegas (panegges) yang melagukan kisah dengan variasi pembacaan dan stressing pada kata-kata tertentu, mengingatkan saya pada kolaborasi pembacaan puisi modern. Nada-nada suara dimainkan, tinggi dan rendahnya dimaksimalkan. Saya terhenyak ketika riuh peperangan dihentikan dengan melepaskan topeng-topeng yang dikenakan. Dengan terompet yang berbunyi, mereka berdiri menari seperti sebuah karnaval, mereka berbaris, pawai dan pulang. Wajah sumringah terpancar dari muka mereka.
Opening dan closing yang berbeda, nuansa yang disuguhkan tidak sama. Tapi bahwa pertunjukan rakyat sangat kental sekali dengan pesta pora sengaja dikedepankan oleh Agus. Tehnik muncul dari masing-masing pemeran dengan memanfaatkan kain merah yang terbentang, menandakan detil yang tergarap. Tidak hanya itu, bagaimana riuh tepuk tangan penonton yang tidak begitu banyak itu bisa menjadi penanda bahwa malam itu acara ngamen yang dikomandani oleh Agus sukses dan menarik.
Alalabang menyajikan ritual keagamaan dan hiburan. Ketika seni diusung dan ditampilkan faktor terakhir menempati posisi penting. Sebagai hiburan alalabang mengena, gerak, musik dan lagu memenuhi ruangan. Untuk ritual keagamaan, pesan-pesannya tersampaikan. Pertunjukan yang berdurasi tigapuluh menit itu, terasa menghentak dan sekejap.
Barangkali kita memang mulai harus mengemas sastra lisan kita yang merupakan tradisi dan aset luar biasa bangsa kita, menjadi sebuah pertunjukan yang bervariasi, untuk memberi nuansa yang berbeda. Dengan sentuhan modern dan kolaborasi dengan berbagai unsur seni, saya yakin akan ada banyak hal yang bisa dimunculkan dan memberi warna bagi perkembangan dunia pertunjukan kita.
Surat Kabar Minggu Pagi, 1 oktober 2006
Panggung dengan dominasi warna merah dan hitam tergelar, irama gamelan mengalun memenuhi ruangan. Iring-iringan dipimpin oleh dalang dengan langkah khusuk berjalan pelan menuju rokat somber (tempat wingit). Sepertinya sebuah upacara akan dimulai. Tak ada yang bersuara, masing-masing asyik dengan pikiran dan perasaannya. Dengan membawa wayang rumput, dalang memimpin rombongan. Saat tiba di tempat, para pelaku menempatkan diri, dhalang menancapkan wayang, musik belum berhenti. Sebuah kisah dihamparkan, mengawali malam.
Lalu tetembangan diperdengarkan, legenda asal-usul timun putih yang merupakan buah mentimun khas Sumenep dilantunkan. Konon, dulu mentimun berwarna hijau, tumbuh di dalam tanah. Ke (kyai) Agung Karamat, seorang ulama yang tinggal di mata air (Barumbung) menugaskan seekor kera putih (mothak pote) untuk menjaganya, agar tidak dicuri atau dimangsa hewan lainnya. Kera putih punya akal mengeluarkan semua mentimun itu dari dalam tanah. Memberi warna dengan kapur putih sehingga mudah terlihat meskipun malam hari. Kebun mentimun aman dari pencurian, hingga akhirnya mentimun yang semula berwarna hijau, berubah menjadi putih khas dari Sumenep sampai sekarang.
Itulah bagian pertama kisah yang diangkat oleh Agus Suharjoko, S.Sn, sebagai sutradara, mengawali festival Seni Tradisi Lisan yang diselenggarakan di Yogyakarta beberapa hari lalu. Pertunjukan masih belum selesai sampai disitu, saat babak kedua ditampilkan tentang sejarah Klana Tanjung Seta yaitu tentang kelahiran manusia dengan berbagai nafsunya. Ada manusia yang berhati mulia meski berwujud seekor kera, bernama Hanoman. Yang menjalankan tugas Rama, mengantarkan cincin untuk Dewi Sinta. Hanoman tak sekedar bertugas, namun juga ingin merusak taman Argasoka. Muncullah Trijata, putra Gunawan Wibisana yang was-was terhadap Hanoman, sekaligus jatuh hati padanya. Hanoman berusaha setia dengan tugasnya, tetap ingin merusak taman. Sampai akhirnya muncul Indrajit putra Rahwana yang mencegah dan melawan Hanoman. Perang diantara keduanya tak terelakkan.
Tiga komposisi yang ditampilkan malam itu, terasa sekejap dan memikat. Agus sengaja tidak membiarkan penonton jenuh dan berlama-lama. Jika melihat teks aslinya yang enam jam dan dipadatkan dalam waktu tiga puluh menit, sebagai sutradara Agus sadar harus menampilkan momen-momen istimewah. Dengan penggarapan dengan menggunakan konsep teater modern, seni tradisi yang meliputi mamaca, topeng dhalang dan wayang rumput terkolaborasi dengan manis.
Padahal ketiganya adalah komposisi yang berbeda dan tidak berhubungan satu dengan yang lain. Tetapi ditangan Agus ketiganya tersaji dalam tigapuluh menit yang mengesankan. Bagi penonton yang tidak mengerti bahasa Madura pun, irama yang ditampilkan saat pembacaan mamaca (macapat) bisa dinikmati. Perpaduan dhalang dan penegas (panegges) yang melagukan kisah dengan variasi pembacaan dan stressing pada kata-kata tertentu, mengingatkan saya pada kolaborasi pembacaan puisi modern. Nada-nada suara dimainkan, tinggi dan rendahnya dimaksimalkan. Saya terhenyak ketika riuh peperangan dihentikan dengan melepaskan topeng-topeng yang dikenakan. Dengan terompet yang berbunyi, mereka berdiri menari seperti sebuah karnaval, mereka berbaris, pawai dan pulang. Wajah sumringah terpancar dari muka mereka.
Opening dan closing yang berbeda, nuansa yang disuguhkan tidak sama. Tapi bahwa pertunjukan rakyat sangat kental sekali dengan pesta pora sengaja dikedepankan oleh Agus. Tehnik muncul dari masing-masing pemeran dengan memanfaatkan kain merah yang terbentang, menandakan detil yang tergarap. Tidak hanya itu, bagaimana riuh tepuk tangan penonton yang tidak begitu banyak itu bisa menjadi penanda bahwa malam itu acara ngamen yang dikomandani oleh Agus sukses dan menarik.
Alalabang menyajikan ritual keagamaan dan hiburan. Ketika seni diusung dan ditampilkan faktor terakhir menempati posisi penting. Sebagai hiburan alalabang mengena, gerak, musik dan lagu memenuhi ruangan. Untuk ritual keagamaan, pesan-pesannya tersampaikan. Pertunjukan yang berdurasi tigapuluh menit itu, terasa menghentak dan sekejap.
Barangkali kita memang mulai harus mengemas sastra lisan kita yang merupakan tradisi dan aset luar biasa bangsa kita, menjadi sebuah pertunjukan yang bervariasi, untuk memberi nuansa yang berbeda. Dengan sentuhan modern dan kolaborasi dengan berbagai unsur seni, saya yakin akan ada banyak hal yang bisa dimunculkan dan memberi warna bagi perkembangan dunia pertunjukan kita.
0 komentar:
Posting Komentar