RESITAL : Momen Membangun Keakraban Wali Murid dengan Guru (Sekolah)
Pendidikan adalah proses, demikian diungkapkan oleh tokoh pendiri mazhab pendidikan liberal Paolo frei. Pendidikan sebagai proses diterjemahkan bahwa kegiatan penyelenggaran pendidikan di sekolah dalam bentuk Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) atau diluar KBM bertujuan merupakan proses yang dirancang dan harus dijalani oleh peserta didik mencapai sebuah tujuan atau hasil akhir dari proses tersebut. Pendidikan bertujuan mencetak peserta didik yang memiliki karakter, manusia yang unggul, tidak hanya dari sisi jasmani tetapi juga sisi rohani. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan sebuah proses dalam pendidikan sangatlah menentukan. Proses yang baik akan menghasilkan sesuatu yang baik. Sebaliknya proses yang tidak baik akan berdampak pada hasil yang tidak baik.
Keberhasilan siswa dalam proses belajar tidaklah hanya dari sisi akademik (keilmuan) semata, tetapi yang tak kalah pentingnya adalah sisi non akademik (diluar keilmuan). Semua keberhasilan tersebut haruslah ada semacam penghargaan atau apresiasi dari segenap stake holder pendidikan. Apresiasi tersebut diberikan sebagaiwujud simpati dan mengahargai terhadap usaha dan jerih payah peserta didik selam menjalani proses. Apresiasi perlu dan mutlak diberikan karena pendidikan adalah miniatur kehidupan sosial masyarakat dan curahan dunia ide dari cita-cita ideal masyarakat yang diharapkan. Kehidupan masyarakat yang dinamis didorong oleh kepedulian diri untuk memberikan peran sesuai dengan kompetensi diri ditengah masyarakat guna tercipta kehidupan yanh harmonis. Setiap pribadi memilki peran tersendiri dan mendapatkan pengakuan akan perannya oleh komonitas sosialnya.
Segala bentuk apresiasi, pengakuan, penghargaan atas hasil dari proses maksimal yang jalani oleh peserta didik tidak ditujukan agar peserta didik berbangga diri dan melupakan yang lain (sombong). Apresiaisi diberikan sebagai wujud sikap charity and reponsibility atas prestasi (hasil) anak didik setelah melalui proses panjang dan bersabar selama berproses. Sebuah penghargaan terhadap pikiran yang tercurahkan dan keringat yang tercucurkan untuk sebuah hasil. Pengukuhan dan pengakuan atas pribadi yang memiliki potensi yang selanjutnya potensi itu diberikan dalam bentuk peran ditengah miniatur sosial masyarakat (sekolah). Selayaknya anak yang memilki kemampuan akademik atas teman yang lain hendaknya menjadi tutor sebaya yang bertugas mengajari teman-temannya yang kesulitan menangkap informasi keilmuan yang diberikan guru. Dalam komonitas sosial, pribadi yang memiliki kemampuan lebih berkewajiban untuk menjadi motor penggerak menuju masyarakat yang dinamis. Hal ini sebagai wujud pertanggungjawaban atas apresiasi berbentuk prestasi yang diterima.
Resital yang diselenggarakan setiap tahun diakhir semester genap merupakan ajang unjuk kreasi siswa. Dalam event ini ditampilkan karya siswa kepada segenap stake holder pendidikan. Majalah dinding tiga dimensi, Photoshop, teater, batik dan pemutaran film indie adalah hasil keratifitas siswa dari proses yang relatif panjang. Untuk sebuah karya setiap individu dalam komonitas sosial kelas dituntut bisa bekerja sama sekaligus sama-sama bekerja. Mulai dari ide, konsep, pelaksanaan di lapangan diatasi secara bersama-sama. Permasalahan dan kendala dilapangan dihadapi dan dicarikan jalan keluar bersama. Setiap pribadi siswa dengan kompetensi yang dimiliki memberikan perannya untuk sebuah hasil karya komonal. Sebuah potret kehidupan masyarakat ideal yang diidamkan bersama.
Setiap usaha dan kerja keras seseorang haruslah direspon. Respon diberikan berbentuk apresiasi sebagai penghargaan dan pengakuan atas unjuk kerja yang ditampilkan. Setiap pementasan teater dan pemutaran film indie panitia mengundang para orang tua siswa untuk menyaksikan dan memberikan apresiasi terhadap apa yang dilakukan anaknya ditengah komonitas kelas dalam masyarakat pendidikan. Lain dari itu, event ini adalah momentum bertemunya para orang tua siswa dengan wali kelas ataupun para guru. Merupakan waktu yang tepat untuk menjalin keakraban antara orang tua siswa dengan para guru (pihak sekolah).
Selama ini sekolah sebagi institusi ibarat menara gading yang tidak boleh disentuh oleh tangan-tangan luar sekalipun orang tua siswa. Sekolah dengan sistem dan menejemen yang diterapkan menutup pintu rapat-rapat atas ide, masukan yang datang dari luar. Sekalipun muncul konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), sekolah mulai membuka diri atas peran dan masukan orang luar. Sekolah tidak akan mampu menyerap sepenuhnya aspirasi dan unek-unek yang datang dari luar. Ujung-ujungnya masukan itu disimpan dalam kotak: “ Usul Saudara kami catat dan akan dipertimbangkan”.
Momen resital adalah timing yang tepat untuk membuka jarak antara sekolah dengan pihak luar. Sembari menyaksikan karya siswa ada waktu bagi guru dan orang tua untuk berkomonikasi langsung. Orang tua menanyakan perkembangan anaknya kepada guru dan guru bisa menjelaskan kepada orang tua tentang kesulitan dan kendala yang dihadapi dunia pendidikan. Tak terasa curhat antara orang tua dengan guru menjadi komonikasi efektif untuk menghilangkan sekat pemisah antara orang tua dengan guru (pihak sekolah). Dari proses informaal sharing inilah akan tecipta keakraban antara orang tua dengan guru. Apabila telah tercipta keakraban, maka akan terjalin hubungan harmonis sekolah dengan pihak luar sebagai bagian dari stake holder institusi pendidikan. Sebuah jalinan harmonis yang berdiri diatas dasar saling memahami atas realitas dunia pendidikan yang merupakan tanggungjawab bersama.
Sayang, momen ini tidak bisa dimanfaatkan dengan baik oleh guru terutama wali kelas dan orang tua siswa. Guru, wali kelas juga orang tua siswa tidak semuanya hadir untuk memberikan apresiasi terhadap karya anak-anaknya. Peluang yang baik untuk menjalin komonikasi untuk menciptakan keakraban antara wali murid dan wali kelas / guru (sekolah) hilang sia-sia. Akhirnya tulisan ini saya tutup dengan ungkapan orang Jepang: ざんねん ですね (Sayang ya!).
Syafiuddin Syarif : adalah pengajar Bhs. Jepang SMA 1 Sumenep
0 komentar:
Posting Komentar