(Catatan atas film “UPACARA”)
Setiap bangsa memiliki latar sejarah yang spesifik, terutama bagi bekas negara jajahan seperti Indoensia. Semenjak dibacakan teks proklamasi 17 agustus 1945 oleh Bung Karno dan Bung Hatta, merupakan titik kulminasi perjuangan dan berdiri tegaknya kedaulatan Negara Republik Indonesia. Semangat kebangsaan, nasionalisme, semangat yang memenangkan pertempuran perebutan kemerdekaan hanya dengan bersenjatakan bambu runcing berhasil mengalahkan persenjataan modern. Semangat yang harus terus-menerus dikobarkan kepada generasi penerus untuk menghargai jasa para pejuang dan para pendiri bangsa. Semangat dan pengorbanan yang dilandasi tulus dan ikhlas demi kemerdekaan dan tegaknya kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Semangat inilah yang diangkat oleh kelas XI A3 SMANSA, dalam film yang berjudul “Upacara”. Upaya untuk menjelaskan semangat dan pengorbanan para pejuang untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan sampai dibacakanya teks Proklamasi oleh Soekarno Hatta membuka cerita. Dalam kelas seorang guru menjelaskan tentang nasionalisme, di antaranya adalah upacara bendera setiap hari senin. Mereka mencoba memberikan komparasi antara pengorbanan para pejuang kemerdekaan dengan generasi muda yang mengikuti upacara bendera setiap hari senin. Hanya karena hujan siswa bubar dengan sendirinya, meski pengibaran bendera telah dilaksanakan. Sebuah kritik yang menohok ke ulu kebangsaan kita. Realitas yang memperjelas bahwa upacara bendera bagi pelajar tak lebih sebuah pemaksaan, rutinitas yang mereka ragukan sendiri makin kuatnya nilai kebangsaan dan nasionalisme dalam diri.
Kalau Budi bisa bertahan dalam upacara pengibaran bendera, karena ayahnya mati dalam pertempuran merebut kemerdekaan. Hal ini dipertegas dengan flashback, di saat hormat berdera terbayang dalam pikiran Budi bapak yang pamit berangkat bertempur, dan kemudian gugur, sehingga terbayang pula saat ibunya mengajak ziarah makam ayah yang telah gugur.
Film ini mengingatkan saya pada sebuah diskusi bersama anak-anak cinematografi SMANSA, dua tahun lalu. Saat itu muncul ide menggarap film untuk mengkritisi pelaksanaan upacara bendera di hari senin. Aneka pendapat muncul saat itu, di antaranya mereka tidak merasa yakin kalau upacara bendera hari senin menumbuhkuatkan disiplin dan kebangsaan dalam diri mereka. Saya sangat menunggu film tersebut, karena produk ini dapat menjadi sebuah cerminan pendapat kaum muda dan menumbuhkan nasionlaisme menurut mereka.
Hadirnya film “Upacara”, sedikit mengobati penantian saya. Sebuah film yang patut diapresiasi bersama, sebagai sebuah cermin kecil kehidupan remaja berseragam abu-abu di saat upacara bendera.
Ada beberapa adegan yang melepaskan logika peristiwa dalam film; pertama, kalau ayah budi mati dalam perang kemerdekaan (tahun 1945) dan saat itu Budi berusia sekitar 5 tahun saat ziarah ke kubur ayahnya. Maka, ketika Budi SMA berusia sekitar usia 16 tahun pada tahun sekitar 1956. Jika logika itu dipakai, maka kostum seragam sekolah seharusnya mengikuti mode pakaian seragam tahun 1956. Kedua, adegan hujan pada saat pengibaran bendera merah putih. Hujan di layar tergambar deras, tetapi siswa-siswi yang berlarian pakaiannya tak tersentuh air, juga budi yang berbasah-basah saat hormat bendera, ternyata setelah reda bajunya kering tak ada siswa air. Ketiga, ini banyak saya temukan pada beberapa film peserta yang mengambil setting upcara di sekolah. Mareka hanya melakukan upacara dengan teman sekelas, pada hal potret gedung menggambarkan sekolah besar dengan banyak ruang dan siswa. Kenapa mereka tidak pernah terpikir untuk membangun realitas fakta ke dalam realitas gambar. Meski demikian, kekurangan itu tidak akan mengurangi pesan yang ingin disampaikan oleh film untuk mengprmati dan menghargai pahlawan yang teah mengorbankan jiwa dan raga demi tegaklnya kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia. Merdeka, merdeka, merdekaaaa!!!!
Hidayat Raharja, Guru, Esais, Pengelola Blog SAVANT; Anak-anak yang tak bi(A)sa menulis tapi berani menulis.
Minggu, 14 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Posting Komentar