(catatan atas film “ Menari di Atas Pelangi)
” kematian adalah wajib.”
Semua yang hidup akan menuju kematian,
yang pasti dalam hidup adalah mati.
Kematian tidak bisa dimajukan dan tidak bisa ditunda. Jika saatnya tiba semua harus menerima dengan lapang dada. Karena kematian rencana yang semula ditata bisa menjadi berantakan. Namun yang patut dipahami bahwa sesuatu yang hidup akan mati, dan setiap kematian ada sesuatu hikmah yang membuat manusia bertambah sadar akan hidup, dan sabar menjalani hidup yang sementara.
“Menari di Atas Pelangi” judul film dari teman-teman SMAN 3 Bangkalan yang sangat puitis. Judul yang mengajak penonton melambungkan imaji jauh ke langit memantul warni-warni bianglala. Jalinan kisah yang amat menarik, sebuah realitas yang dialami anak-anak ekskul di setiap SMA, latihan rutin untuk menambah keterampilan dan kecakapan, mengikuti ivent sebuah lomba untuk mencapai prestasi atau paling tidak mengukur keterampialn dan kecakapan yang telah diasah. Persoalan bermuara dari sini, saat Norma dan kawan-kawannya latihan tari tradisi untuk mengikuti festival tari se kabupaten Bangkalan. Tengah asyiik latihan menari tiba-tiba Norma mengalami gangguan pusing, hingga pingsan, terjatuh. Gangguan rutin yang kerap menyergap Norma, konon kabarnya menderita Kanker Otak. Gangguan penyakit yang menakutkan, karena setiap penderitanya hampir tidak dapat disembuhkan.
Di sela latihan rutin yang mereka lakukan didapat kabar kalau keikutsertaan mereka untuk sebuah festival kurang didukung karena sekolah tidak memiliki dana untuk biaya pendaftaran mereka mengikuti festival. Terlanjur sudah latihan, mereka pantang menyerah tetap bersikeras untuk mengikuti festival dengan jalan ngamen di terminal untuk membiayai pendaftaran dan melengkapi kostum yang dibutuhkan. Jalan cerita bergerak dari satu toko ke toko beriktunya sampai kemudian terkumpul sejumlah uang. Rencana mereka akn segera terlaksana karena uang pendaftaran telah terkumul dari hasil ngamen. Wajah mereka berbinar-binar dan mereka mengacungkan uang perolehan ngamen. Namun sial uang dalam pegangan diserobot copet yang sedari tadi mengintai, uang lenyap. Pencopet lari dan kemudian tertangkap. Namun tiba-tiba Norma mengeluh sakit kepala. Sakit yang kemudian mebawanya norma ke alam baka. Meninggal dunia. Gagallah mereka mengikuti festival , karena tidak ada penari menggantikan Norma.
Suatu pesan sederhana, yang diangkat dari salah satu peristiwa yang sering terjadi dalam dunia persekolahan. Tidak ada dari sekolah karena tersedot oleh kegiatan lain. Atau terbatsnya dana kegiatan sekolah, sementara kegiatan siswa tak pernah putus. Sebuah otokritik bagi dunia pendidika, khususnya pada penentu kebijakan untuk tidak menjadikan alasan tidak meyertakan siswa dalams ebuah ivent, karena terbats atau tidak adanya dana kegiatan. Secara kreatif seiswa mengatasi kendalanya dengan cara ngamen. Cara yang dianggap paling sederhana dan mudah dilakukan. Namun sadarkah bahwa aktivitas tersebut membawa efek buruk kepada sekolah? Cara lain yang memungkinkan untuk ditempuh, pihak sekolah bisa berembuk dengan komite sekolah atau dengan orangtua murid untuk mengantarkan anak-anaknya berfestival dan berprestasi.
Menikmati film ini, lagi-lagi saya terganggu dengan logika kematian Norma yang mengidap penyakit “Kanker Otak”. Penulis naskah ini sangat tidak paham dengan stadium penyakit “kanker Otak”. Jika penderita di ambang kematian, berarti penyakitnya berada pada stadium IV. Dalam kondisi ini pasien sudah dalam keadaan berbaring di tempat tidur. Takkan bisa lagi melakukan aktivitas menari. Selamat dan sukses buat-teman-teman dari SMA 3 Bangkalan. Peace!!!!
(Hidayat Raharja, Guru, Esais, dan Pengelola Blog SAVANT; Anak – Anak yang tak bi(A)sa menulis tapi berani menulis).
Minggu, 14 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar