Rabu, 24 Juni 2009

INDIE

; catatan sisa resital smansa IV

Membuat film bagi anak-anak remaja di jaman sekarang bukan hal yang sulit, sehingga setiap tahun selalu ada kompetisi diselenggarakan untuk mewadahi kreativitas kaum muda. Beberapa lembaga atau komunitas menyelengarakan kompetisi film yang bersifat bebas, dalam artian semangat yang berbeda dengan kelaziman yang ada (industri). Hal ini amat sering di lakukan di jalur musik, yang dikenal dengan musik indie. Musik yang b ergerak dan beredar di luar mayor label. Sebuah gejala baru yang memungkinkan munculnya kreativitas tak terduga dan menjadi alternatif tayangan yang bisa memberikan hiburan.

Hadirnya musik indie merupakan sebentuk perlawanan terhadap dominansi industri yang menetukan bentuk kreativitas sehingga mengkooptasi kreator untuk mengikuti kehendak industri. Situasi menekan, sehingga kemudian lahir karya yang monoton, seragam. Kondisi ini dapat dilihat pada perkembangan industri musik saat ini. Setiap muncul kelompok musik baru yang memberikan keuntungan bagi industri musik atau rekaman, maka akan segera dibuat lagu semacam itu dalam berbagai versinya. Semuanya semata hanya untuk mendapatkan keuntungan semata. Ketika mereka terjerat dalam gurita industri, tak bisa melepaskan diri dari cengkeraman dan menjadi sapi perahan yang dikendalikan pemilik modal. Mereka tak ubahnya seperti budak belian yang harus tunduk kepada tuannya.

Puncak tekanan yang menimbulkan kesadaran bagi musikus muda. Mereka kemudian melakukan perlawanan perlawanan untuk memberikan alternatif terhadap kemonotonan yang dikendalikan oleh industri kapital, pemilik modal. Lahirlah kelompok-kelompok musik indie yang bertumbuhan di berbagai tempat. Mereka kemudian bergerilya untuk memproduksi musik dan mendistribusikan sendiri tanpa melalaui perusahaan ternama Fenomena yang cukup menarik, pertumbuhan musik indie mendapat tempat di kalangan kaum muda. Kondisi yang kemudian dibaca oleh industri rokok dengan mengadakan festival musik indie. Sayangnya pemenang festival ini kemudian kembali memasuki pasar industri musik yang terjebak pada selera pasar.

Salah satu fenomena musik indie di Indonesia yang mencuat belahan dunia luar, kelompok musik underground di Ujungberung – Bandung. Kelompok musik ini mampu membangun jejaring di dunia maya dan mampu berkolaborasi dengan musisi Amerika. Hebatnya lagi kelompok indie yang mereka kelola, mampu membangkitkan home industri untuk industri kaos dan remakan musik, mampu membangkitkan perekonomian masyarakat.

Indie = perlawanan terhadap kemapanan industri kapital. Sebuah ruang yang memungkinkan kaum muda untuk menumpahruahkan segala ambisi keinginan dan kreativitas dalam berbagai bidang. Hadirnya film Indie menyegarkan kondisi perfilman yang monoton, apalagi menghadapi tayanagn sinetron yang dijejali dengan pelbagai sampah industri kreatif. Di tangan kaum muda, film-film indie memberikan alternatif tontonan untuk melawan kebusukan sineteron dan film yang berorientasi pada keuntungan belaka, tanpa memperhitungkan pengaruh kepada penontonnya.
Film indie dalam resital smansa IV di SMA Negeri 1 Sumenep cukup menarik. Jika dibandingkan dengan produksi fiolm pada tahun-tahun sebelumnya, produksi tahun ini jauh lebih bagus dan ide menantang. Ide-ide mereka sebagian besar mengambil tema-tema yang dekat dan lingkungan sekitar. Tentu hal ini membutuhkan waktu dan perhatian lebih untuk bisa mengembangkn mereka ke titik puncak kreativitas yang lebih menantang. Setidaknya disini (SMANSA) mereka telah menimba pengalaman mengenai film Waktu yang akan mematngkan, karena jalan tempuhan mereka banyak bercabang, entah kemana mereka akan melangkah, setidaknya pengalaman ini memberikan bekal apresiasi terhadap dunia film dan dunia nyata yang mengahdang di hadapan. Good bye!!!

Hidayat Raharja, Guru, esais, pengola blog “SAVANT” ; anak-anak yang tak bi(A)sa menulis, tapi berani menulis.

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut

 

TANAH KAPOR | Creative Commons Attribution- Noncommercial License | Dandy Dandilion Designed by Simply Fabulous Blogger Templates