(catatan atas film “ DIBALIK SUNYI ITU” )
ARMADA PRODUCTION
Kemiskinan kerap kali dijadikan alat untuk menguras air mata dan menumbuhkan rasa iba, belas kasihan dari orang lain. Sebuah upaya untuk menunjukkan kepedulian kepada orang lain walaupun sesaat, meski pun tak akan merubah nasib si miskin. Kerapkali dalam tayangan televisi tema tentang kemiskinan menjadi sumber inspirasi untuk menggugah atau menarik jumlah penonton sehingga mendapautkan iklan yang banyak dan keuntungan yang besar. Semua itu dikemas dalam sebuah bingkai “hiburan” dan takan pernah merubah nasib si miskin yang terus menderita.
“Akhir Puisiku” sebuah film pendek yang digarap oleh anak-anak kelas X-2 dengan dua pemeran perempuan ; Ibu (diperankan oleh Shinta dan anak yang diperankan Rhizki). Film dibuka dengan sebuah adegan di serambi rumah sederhana bahkan dapat dikategorikan rumah yang sangat sederhana berdidniding kayu dengan balai-balai yang terbuat dari kayu tanpa kasur. Seorang ibu yang tengah berbaring sakit dan seorang anak perempuan yang melayani ibunya.
Sebuah penderitaaan ingin ditunjukkan oleh film ini dengan menamilkan sosok ibu yang batuk-batuk berat di serambi rumah yang sederhana. Mekiskinan ini sangat kentara ketika penerangan yang digunakan hanya sebuah lampu minyak tanah yang menerangi ruangan. Namun begitu Sinta, anak perempuan itu memiliki keinginan yang amat sukses untuk menggapai cita-citanya. Ia kemudian pamit kepada ibunya untuk mengikuti lomba baca puisi. Sinta terlambat datang ke tempat pelaksanaan lomba, hampir dinyatakan gugur karena ketidak hadirannya. Namun kesempatan itu datang untuk menunjukkan ia sebagai anak perempuan keluarga miskin yang berhasil memenangkan lomba baca puisi.
Betapa bahagianya Sinta menjadi pemenang dan segera pulang untuk menyampaikan kabar kepada ibunya yang tengah sakit. Namun saat samai di ahadapan ibunya dan hadiah itu diberikan ternyata ibunya sudah meninggal dunia. Tragis???
Tayangan yang menarik. Namun sayang pengambilan gambar dab adegan kurang sempurna. Banyak sesuatu yang muskil dalam cerita ini, di serambi rumah itu Sinta menyalakan lampu minyak tanah, pada hal sangat jelas dipotert oleh kamera di situ ada lampu neon, juga penerangan dalam rumah jelas menunjukkan nyala lampu neon. Logika kemiskinan yang dibangun dalam cerita tak sebangun dengan gambar yang ditayangkan, sehingga membuat film ini menjadi kurang riel sebagai seuah cerita. Beberapa adegan yang seharusnya menampilkan sosok ibu dan anak yang tengah berdialog ternyata kamera menampilkan dua-tiga orang anak yang tengah menyaksikan pengambilan gambar adegan.Kemeriahan sebuah lomba tidak nampak dalam film ini, serta pemanin-pemainnya kurang menghayati peran yang dimainkan. Bagaimana ekspresi seseorang yang tengah menunggu hasil pengumuman pemenang sebuah lomba.? Namun satu pesan yang tidak dapat dilupakan dari film ini adalah bahwa kemiskinan tidak harus menghilangkan cikta-cita yang diinginkan. (Hidayat Raharja, Guru – esais dan pengelola Blog SAVANT)
Selasa, 09 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar