Selasa, 09 Juni 2009

Cerpen: Sebuah Cerita Perempuan Pesinden


Oleh: Mahwi Air Tawar


Kamu lebih memilih selendang dan cermin dari pada kitab suci. Sungguh Ibu kaget saat telunjukmu menunjuk pada pilihan, yang tak Ibu ingini. Tetapi Ibu tak bisa mengelak, meski sebenarnya Ibu selalu cemas dengan pilihanmu. Selalu merasa takut dan, sia-sia!
Hari masih pagi. Kamu berteriak-teriak. Orang-orang mengelilingimu dengan suka ria, sambil sesekali mengulum senyum. Memandangimu takjub. Mungkin heran. Meski bahasamu sulit kami pahami. Tetapi sesuatu harus kami lakukan, demi impian dan harapan. Sesaji kami persiapkan jauh hari sebelumnya: beras kuning, kelapa muda yang sudah terbelah dua, dan sebingkai cermin kecil, beberapa buku, kitab suci, selendang, dan sebuah kendang.
Anak-anak yang Ibu undang sekarang sudah datang tanpa ada yang tertinggal. Nenekmu sibuk memasak bubur di dapur. Kakekmu menembang riang. Ah, tidak. Tidak, Nak. Kakekmu kala itu sedang bersenandung. Berkali-kali dari kelopak matanya air mata menetes, seperti gerimis merembes. Sementara, satu-dua-tiga tembang beruntun, terus beralun.
Pagi belum lama lewat. Lamat-lamat terdengar suara-suara gemuruh dari pantai. Kamu kaget. Tetapi setelah tidak lama, kamu seperti merasakan keheningan kembali, itu terlihat dari tatapan matamu yang bening.
Nyi Rundiye, yang diundang sudah datang. Ya, Nyi Rundiye, dukun bayi itu. Ingat-ingatlah, Nak. Waktu itu, ia membisikkan kamu sesuatu, tetapi, aku Ibumu, merasakan apa yang ia bisikkan; jangan ikuti jejak ibumu. Lalu, Nyi Rundiye berkeliling ke beberapa sudut halaman. Lalu, menaburkan beras kuning, kembang-kembang. Tidak. Tidak, Nak, ketika itu ia tidak sedang menyenandungkan lafal doa atau rapal mantra, penyucian atas perkembanganmu, yang sudah bisa duduk. Tetapi ia menembang, dan kami tak bisa menghentikan, ihk, suaranya tak lagi sumbang. Tak seperti biasa. Sungguh merdu, Anakku. Merdu. Ah, betapa ibu tersentak. Tak percaya saat tanganmu menunjuk-nunjuk selendang dan cermin. Nenek dan Kakekmu lebih riang dari pada Nyi Rundiye, yang tiba-tiba murung, begitu juga Ibu, yang tak pernah berharap saat itu kamu menjadi seorang pesinden, bukankah, selendang, cermin yang disediakan saat selamatan untuk membaca sebuah tanda-tanda bagi anak-anak kita kelak. Ya, persis seperti yang kamu pilih sewaktu masih belia?
Kakekmu tertawa. Mungkin merasakan sesuatu yang lucu, atau ia benar-benar gembira ketika tanganmu meraih selendang dan kendang? Sejak itu. Sejak usiamu menjelang remaja, Ibu benci kepada Kakekmu, yang selalu mengajarimu nembang. Lalu, diam-diam, Ibu menyuruh teman Bapakmu untuk membunuhnya. Ibu tak suka kamu menjadi pesinden sebagaimana Ibu, dulu. Ibu menginginkan kamu menjadi perempuan yang pintar mengaji kitab suci, menjadi santri kesayangan Kiai.
Sekarang, enambelas tahun usiamu. Kamu tampak lebih cantik. Matamu lentik. Suaramu merdu, banyak orang, termasuk Kiai Rusdi, gurumu mengaji bangga dengan kemampuanmu, saat menyenandungkan ayat-ayat al-Quran. Ketahuilah anakku, tak ada yang lebih membanggakan bagi seorang Ibu, selain kamu telah menjadi seorang abdi dalem, menjadi santri kebanggaan seorang Kiai?
Tetapi, aduh…, anakku, betapa nasib tak bisa ditimang, malang datang tanpa harus dijelang; mengapa justru saat kamu telah pintar mengaji kitab suci, kamu menginginkan hal yang sangat Ibu benci. Kamu memberontak. Kamu melarikan diri dari tempatmu mengaji. Apa sebab anakku. Terkutukkah ibumu?! Terkutukkah aku, wahai anakku?

***

“Apakah menjadi seorang pesinden buruk. Dosakah, Ibu?”
“Setidak-tidaknya. Orang akan memandangmu wanita murahan.” Perempuan berkulit langsat itu beranjak, lalu berdiri dekat lemari. “Persis seperti Ibu, dulu,” desisnya lirih menahan isak senik.
“Tak bolehkah aku mempertahankan harga diri lewat tembang-tembangku. Tarianku, dari pada berbohong terus menerus…,”
“Kamu terlalu keras kepala.”
“Sebagaimana Bapak. Beliau pertahankan diri dengan kekerasan.”
“Dari mana kamu tahu masa lalu Bapakmu, Nak?”
“Kakek.” jawabnya ketus. Sementara, tangis perempuan itu semakin tak tertahan.
“Ibu tak ingin…,”
“Tak ingin jadi pelacur?”
“Bagi mereka, pesinden tak beda dengan seorang pelacur.”
“Ibu pelacur?”
“Kamu anakku. Anak almarhum, Bapakmu. Juwairiye, itu namamu, Nak.”
“Tapi bukan anak pelacur kan? Bukan keturunan lelaki bajingan, kan, Ibu?” perempuan itu terus menunduk. Merasa pertanyaan dari anaknya itu, sebuah ancaman. Sungguh ia tak tahu, jawaban apa yang mesti ia berikan kepada anaknya.
“Ibu pembunuh.” Perempuan itu terus berisak senik. Juwairiye tak peduli.
“Bahkan, Ju, sangat yakin, Bu. Dengan menari Ju, akan masuk surga. Anakmu akan hibur mereka, yang sedih akan gembira. Yang punya hutang takkan merasa terbebani. Yang lapar akan merasa kenyang.” Perempuan itu hanya bisa menatap anaknya. Sepasang matanya sembab. Bagaimana mungkin, Juwairiye, yang masih menginjak remaja sudah berkeyakinan dengan menari akan masuk surga? Murtad! Pyaar…! Bentaknya, sesaat tangan kanannya mengenai kepala Juwairiye, hingga terjatuh.
“Durhaka.” Dan lekas perempuan itu masuk kamar.
“Ibulah yang durhaka!” Pelan Juwaiye mengangkat kepalanya. Lalu merangkak, dan ketika tak berjarak dengan pintu, sesaat Juwairiye mundur sebelum akhirnya membentur-benturkan tubuhnya pada pintu yang sudah terkunci dari dalam. Juwairiye pun mengerang hingga tak lama berselang para tetangga berdatangan, berusaha menghalaunya, namun ia terus memberontak hingga orang-orang harus menyeretnya ke tengah halaman.
Dan akhirnya, setelah para tetangga pulang, Juwairiye pun diam-diam pergi, meninggalkan ibunya, serta kampung halamannya…

***

Sudah larut malam. Ia masih duduk di balik jendela, yang membingkai langit. Kadang ia tersenyum simpul. Separuh wajahnya tertutup tirai, yang berayun disingkap angin, sesekali remang bulan menerpa wajahnya yang murung. Dari jauh samar-samar terdengar suara tetembangan. Mengalun pelan.
Ia, perempuan itu. Bagaimanapun sangat menginginkan anak gadisnya menjadi seorang yang pintar mengaji dari pada mengikuti jejaknya sebagai seorang pesinden, yang separuh hidupnya hanya dihabiskan di antara kerumunan lelaki, di arena panggung. Tak jarang caci dan maki dari beberapa keluarganya jadi ancaman tak terelakkan.
Alkisah, setelah bertahun-tahun menginginkan seorang anak, dan itu setelah separuh usianya ia habiskan dalam arena pertunjukan. Satu hal, yang tak asing dialami para pesinden, termasuk dirinya! Demikianlah memang. Resiko sebagai seorang pesinden sulit mendapatkan suami, meski kecantikannya tak dapat tersangsikan. Ya, sekalipun ada, mereka tak lebih dari sekedar iseng. Seperti yang telah terjadi pada dirinya. Beberapa kali menikah, namun selalu berujung pada titik perceraian. Dan setiap kali ia mendapatkan suami baru, dapat dipastikan hanya akan seusia jagung. Tak lebih.
Adalah Matenan, lelaki bertubuh kekar, dengan mata cekung dan tampak murung, pada suatu pagi yang sedikit mendung datang kepadanya. Pada mulanya ia kaget dan tidak percaya saat dari ambang pintu Matenan berucap salam. Tak seperti biasa, desisnya sambil melirik. Ya, bukannya Matenan dikenal seorang blater, yang selalu membuat onar? Hidupnya hanya dihabiskan di arena perjudian, dan pertunjukan bersama para pesinden? Lalu, untuk apa ia datang dan berucap salam? Begini ceritanya...
Usianya sudah tua. Namun, ketajaman matanya saat memandang masih memberi kesan, kalau dirinya adalah seorang sangat gagah pada usia mudanya, pantang menyerah.
“Tak nyaman hidup begini terus.” tuturnya.
“Maksudmu?”
“Sudah cukup lama, saya membujang.” Lelaki itu menunduk. “Perempuan yang ingin saya jadikan istri pada takut. Semua.”
“Ya, pastinya begitu,” timpal ibu Juwairiye.
“Tapi maukah kamu jadi istri saya?”
“Tidak.”
“Saya ingin berubah.” Hening. “Buktikan kalau tidak percaya.”
“Benarkah sampean mau berubah?”
“Sumpah tujuh langit.”
“Untuk apa sampean menikah?”
“Untuk apa saya hidup tanpa seorang istri?”
“Bajingan.”
Ibu Juwairiye beranjak. Meninggalkannya. Tak lama berselang kembali dengan membawa sebilah arit. “Ini satu-satunya punya Bapakmu.” Ibu Juwairye menjulurkan tangan dan celurit kepada anaknya, “Kalau kamu mau menjadi istri saya, tak seorang pun boleh menyentuh kulitmu. Termasuk Darus, tukang dalang itu.”
“Entahlah, sejak itu, sejak kehadirannya, Ibu merasa, Gusti Allah mengirimkan mukjizat. Seorang lelaki yang dapat menjaga Ibu. Bapakmu sungguh-sungguh. Ibu tak segera menjawab, apakah Ibu mau menjadi istrinya, karena Ibu masih khawatir.” Sesaat sebelum melanjutkan ceritanya, ia mengelus-ngelu rambut anaknya. “Tapi Bapakmu dengan tegas berjanji. Katanya, “Besok saya akan kembali untuk mendapatkan jawaban dan kepastianmu…, ah, ia lelaki pemberani dan tegas.
Begitulah, Nak. Bapakmu meninggal saat kandungan Ibu berusia tujuh bulan. Tapi Ibu bangga punya suami seperti dia, sekalipun pada musa mudanya, Bapakmu adalah seorang blater, bajingan dan selalu bikin onar di masyarakat. Tetapi tidak, Nak. Kepadanya, Gusti Allah, berkehendak lain, pada usianya yang ke empat puluh, ia sah menjadi suamiku, menjadi Bapakmu, dan sejak itulah, seluruh sifat, sikap hidupnya berubah total. Ia menjadi orang sangat rajin pergi ke Masjid. Bekerja dengan tekun, dan lantaran perubahan sikap Bapakmulah, pandangan para tetangga, termasuk Kakek dan Nenekmu kepada Ibu juga Bapakmu berubah.
Kamu tahu? Semula kami menjadi sampah masyarakat. Pedih rasanya. Kami diasingkan, setiap hari dicebiri. Itu semua lantaran Bapakmu adalah seorang blater dan aku seorang pesinden. Maka untuk itulah, janganlah kamu jadi pesinden, jadilah wanita baik-baik, setidaknya menurut ukuran masyarakat, wanita baik adalah wanita yang tidak menjadi pesiden.”

***

Malam seperti berjalan pelan. Seekor cicak merayap, menyelinap ke balik tirai yang sedikit tersingkap, sesekali ia mengintip ke luar jendela. Bayang-bayang pohon siwalan memanjang. Suara kemerisik dahan janur terdengar samar. Derit ranjang saat ia naiki membuat seekor cicak merayap cepat lalu menghilang ke balik bingkai foto yang menggantung samping pintu. Dan entah, kepalanya seperti digerakkan tangan-tangan gaib, ia menoleh pada tiga bingkai foto itu. Tetapi sepasang matanya nanap memandang salah-satu bingkai foto, dirinya paling kanan, Matenan, suaminya di tengah-tengah, dan paling kiri itulah, gambar foto anaknya, yang sampai sekarang barangkali hanya bisa ia kenang.
Dalam bingkai foto itu, Juwairiye berada di dalam tandu, diapit empat anak perempuan tak jauh seusia dengan Juwairiye sendiri. Sambil memandangi foto anaknya, ia merasa memasuki kehidupan bertahun-tahun silam. Jejak masa lalu seakan bertalu pilu. Dari sebalik bingkai itu terdengar decak cicak, dan ketika ia beranjak dari atas ranjang, cicak itu menyembulkan kepalanya, lalu merayap seolah dirinya dalam intaian, dan kali ini, cicak itu sembunyi di balik bingkai foto Matenan, suaminya.
Perempuan itu melagkah pelan. Sambil berjalan ia pandangi gambar foto anaknya. Kadang ia mendesis, “Ke mana kamu sesungguhnya, Ju?” kembali ia menatap. Tak ada jawaban. Ruangan senyap. Ia meratap. Dengan kelopak mata sembab, ia padangi bayangan tubuhnya, yang rebah di antara lantai dan lemari di sudut ruangan. Ia dekati bayangan itu dengan langkah lekas seperti hendak menemui seseorang yang telah lama pergi jauh dan baru kembali. Tetapi semakin tinggal sejengkal pada bayangan itu, bayangan itu semakin mengecil. Ia raba-raba dinding itu, tetapi setelah tahu tidak apa-apa di sana wajahnya menjadi murung. Kini, akhirnya mundar-mandir di sekitar kamar, lalu mendekat ke arah jendela, dibukanya jendela dan tirai itu. Setelah tahu tidak ada apa-apa di luar, sontak ia memanggil Juwairiye.
Di luar, langit tampak pucat. Gemerisik angin terdengar seperti suara orang yang sedang terpekik lehernya. Dengan kecewa ia melangkah ke arah meja samping lemari. Digesernya pelan-pelan meja itu hingga mendekati dinding tempat tiga foto bergantung. Lalu diraihnya foto anaknya, namun tiba-tiba ia merasa pusing serasa ribuan kunang-kunang datang berkerubung, dan akhirnya tanpa sadar ia terpeleset jatuh.

***

Sementara, bus itu terus melaju dengan suara mesin menggemuruh melewati jalan aspal yang retak, dan ranting-ranting mengering sebab musim kemarau yang terlalu panjang. Juwairiye duduk dideretan kursi belakang samping jendela. Sepasang matanya menerawang. Sengaja gorden jendela ia buka. Tak peduli dengan seseorang yang duduk di sampingnya. Bahkan ketika mengajaknya bicara.
Sepanjang perjalanan, kilas balik peristiwa silih berganti menjejaki ingatan Juwairiye, yang merasa sesak. Dalam bus, ia merasa selalu digiring pada peristiwa-peristiwa beberapa tahun silam. Sungguh, kadang ia sangat benci dengan suasana hati dan perasaannya yang semakin kelam itu. Bila suara klakson melengking-lengking, ia seperti mendengar lengking saronen, yang ditiup kakeknya. Dan Juwairiye pun larut. Kalau boleh meminta kepada sopir, agar klakson itu dihidupkan terus. Sebaliknya, dan ini yang membuatnya selalu muak dan sangat membenci kepada ibunya, ketika bus berhenti di terminal, seorang lelaki berkalung surban, sambil berpidato tentang agama, bicara tentang surga dan neraka. Kemudian, seusai berpidato lelaki bersurban itu mengidarkan amplop kosong kepada setiap penumpang dengan alasan untuk pembangunan tempat ibadah. Saat itulah, tiba-tiba, Juwairiye teringat dengan tatapan mata Kiai Rusdi, saat mengajarinya mengaji, dan menarik tangannya agar duduk lebih dekat di sampingnya…

Tepi Kali, Januari 2009

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut

 

TANAH KAPOR | Creative Commons Attribution- Noncommercial License | Dandy Dandilion Designed by Simply Fabulous Blogger Templates