oleh : Agus Suharjoko, S.Sn.
Musik perkusi tong-tong selalu membahana dari aula memenuhi sesaknya polusi suara disekitar smansa. Delapan komposisi musik mengiringi garapan teater dari masing-masing kelas yang dipandu oleh mas yan salopeng. kelas sepuluh satu dengan garapan teaterikalisasi puisi dengan mengangkat garapan puisi dengan judul puisi Munajat kaum binatang karya Kyai Mustofa Bisri, tema tentang lingkungan yang memang diwajibkan oleh guru seni budaya bapak Agus Suharjoko untuk garapan resital IV kali ini.
Garapan teater kelas unggulan kali ini menghadirkan kehadapan kita berbagai keluhan binatang yang selalu mereka hadapi karena ulah dan kemurkaan manusia. mereka para binatang saling berdoa agar manusia dapat menjaga keseimbangan lingkungan. Dengan saling mendengarkan kebutuhan masing-masing mahluk Tuhan ini maka akan kita nikmati keseimbangan lingkungan dan saling menjaga kebutuhannya masing-masing dan damailah isi dunia ini.
Garapan karya kelas sepuluh dua dengan mengambil tema kehidupan kucing ditengah-tengah keramaian pasar, sangat menarik dan cerdas dalam meramu alur, sehinga penonton diajak kedalam ruang dialog bahasa kucing dan sesekali berkomunikasi dengan dialog manusia. Memang kucing memiliki bahasa komunikasinya sendiri dan ternyata melalui teater bahasa komunikasi kucing dapat berinteraksi dengan komunikasi bahasa manusia.
Kecoa atau yang kita kenal dengan sebutan coro memang tak layak menjadi bagian dari masyarakat yang kotor, karena binatang ini ternyata memberikan pembelajaran pada kita semua tentang bagaimana mengumpulkan makanan untuk kehidupan sehari-hari untuk perpanjangan hidup ini. Entah dengan jalan jawil sana jawil sini, tapi itulah kehidupan coro seperti yang digarap oleh tim produksi kelas sepuluh 3 untuk Resital IV kali ini. Dan akan selalu menyisakan pertanyaan besar pada kita, apakah kita lebih beradab dari pada masyarakat coro?
Kehidupan muda mudi memang memiliki suasana yang sangat pribadi sifatnya dan terkadang terbuka dalam suasana ketertutupan. Memang ini khan yang selalu dicari oleh kaum muda yang lagi dimabuk yang namanya cinta itu? namun kalau muda mudi tersebut dua pasang ekor kecoa atau coro yang lagi berpacaran di mushollah apa jadinya ya? mungkin dapat kita cari jawabannya pada garapan kelas sepuluh empat ini, tapi perlu diketahui naluri binatang yang namanya coro tersebut, mereka juga punya kekawatiran terhadap manusia, sehingga mereka juga was-was mushollah sebagai tempat berpacaran. Lain lagi dengan dua ekor tikus yang menyelinap dibalik keset (cocom) mushollah, mereka menjadikan mushollah ini tempat yang aman dijadikan ruang pertemuan hasil korupsi dari brankas sekolah dan ternyata kesadaran morallah yang menjadi ide garap kelas sepuluh empat dari karya Resital IV tahun ini.
Hutan menjadi paru-paru kehidupan di dunia ini, bayangkan bila hutan dibabat untuk kepentingan pembangunan, apa yang terjadi? bukan hanya manusia namun para semut-semutpun gelisah dengan ulah kemurkaan manusia. Raja semut dengan mengerahkan kekuatan pasukannya hendak menghancurkan kejahatan manusia, namun apa yang terjadi? nah perenungan tentang betapa pentingnya lingkungan di garap habis oleh kelas sepuluh lima dalam acara Resital IV yang akan di gelar di aula menutup tahun ajaran 2009 ini.
Pemanasan global menjadi ide garap kelas sepuluh enam, dengan segenap tingkah laku pengrusakan oleh manusia, menjadikan raja bumi dan raja awan murka terhadap manusia. Banjir bandang, petir dan segenap kedahsyatan alam memporak porandakan kehidupan ini. namun itu hanyalah ujian alam terhadap kecerobohan manusia, tetapi sebenarnya alam sangat kasih dan sayang pada manusia, karena juga dibutuhkan keseimbangan dalam hidup ini. Manusia baru tersadar akan semua itu bila semua sudah terjadi, Pertanyaan besar ini memberikan perenungan bagi manusia mau kita jadikan apa bumi ini,
Bagaimana bila para monyet mengadakan pemberontakan karena merasa terzalimi oleh tingkah manusia. dan para monyet merasa terhina saat dijadikan dirinya sama seperti manusia dan diangap bodoh sehinga dijadikan bahan lelucon oleh manusia dan manusia mengeruk keuntungan dari kebodohannya. Nah kelas sepuluh tujuh kali ini menggarap kehidupan topeng monyet yang sampai saat ini dijadikan media hiburan bagi para manusia dan ternyata para monyet memberontak dengan tatanan yang sudah ada. Mereka tidak terima dihinakan seperti itu oleh para manusia. Apakah kita memanfaatkan monyet ataukah malah monyet yang memanfaatkan manusia sehingga monyet bisa lebih dekat dengan marganya, huss jangan dimasukin ati lho yah?
Berbeda dengan kelas-kelas yang lain, kali ini kelas sepuluh delapan menggarap persiapan karya resital dengan format dramatisasi puisi. Mengambil ide garap puisi yang berjudul topeng dhalang dan inilah Indonesiaku, kelas ini memberikan tawaran kepada penonton untuk merenungkan kembali kekuatan tradisi dan semangat nasionalisme yang menjadi dasar pijakan budaya kita .
Proses kreativitas yang panjang telah dipersiapkan oleh peserta didik dari kelas sepuluh satu sampai sepuluh delapan dalam format seni pertunjukan pada semester genap kali ini. pada semester ganjil peserta didik sudah menyelesaikan proses produksi film indie dan pada resital nanti semua karya akan dipertunjukkan kepada masyarakat pencinta seni. Satu tahun mempersiapkan dua karya pada pelajaran seni budaya merupakan kerja yang sangat luar biasa dan perlu kita apresiasi bersama. Seluruh kebutuhan prosesi resital dipersiapkan oleh ketua panitia inti resital sdr. Jenny dan kroninya, serta kelas dengan tim produksi dan kepanitiaan resital pada masing-masing kelas. Saya selaku pembina resital sangat bangga dengan kerja keras seluruh peserta didik dan mengucapkan selamat dan sukses untuk pelaksanaan Resital IV kali ini. (ok dul dari sepoi ombak polo poday)
0 komentar:
Posting Komentar