Senin, 15 Juni 2009

BUDAYA POP: PERLAWANAN GENERASI MADURA

(Selayang Pandang Terhadap Resital : “Festifal Film Indie Smansa Sumenep”)

BUDAYA POP dan MEDIA KOMONIKASI MASSA

Kebudayaan hakekatnya adalah hasil dari pemikiran manusia. Culture atau budaya menurut McIver adalah ekspresi jiwa yang terwujud dalam cara-cara hidup dan berpikir, pergaulan hidup, seni kesusasteraan, agama, rekreasi, dan hiburan, dan yang memenuhi kebutuhan hidup manusia. (dikutip dalam Soekanto, 2002:304). Sebagai sebuah panduan bagi budaya mewujud, dipelajari dan diaplikasikan salah satunya melalui media komunikasi.

Komunikasi sebagai sebuah perilaku interaksi sosial menjadi alat bagi suatu budaya untuk eksis dan survive dirinya dan memastikan hal tersebut melalui pewarisan sosial. Namun disisi lain, komunikasi juga menjadi media bagi pewarisan budaya tandingan atau counter culture yang secara perlahan tapi pasti, dan diam-diam ternyata mengakar dan tumbuh sebagai alternatif dari budaya tinggi (budaya hegemoni) saat ini yang dimiliki sebuah masyarakat. Kemunculan teknologi menumbuhkan prilaku baru ditengah masyarakat yaitu instant attitude (prilaku instant), mendapatkan tandingannya berupa budaya populer (pop culture).

Mengapa budaya populer menjadi tandingan dari budaya tinggi (budaya hegemoni)? Budaya populer atau budaya massa diartikan oleh McDonald dalam Popular Culture (Strinati, 2004:18) sebagai sebuah kekuatan dinamis, yang menghancurkan batasan kuno, tradisi, selera dan mengaburkan segala macam perbedaan. Budaya massa membaurkan dan mencampuradukkan segala sesuatu, menghasilkan apa yang disebut budaya homogen. Budaya pop merubah pandangan awal dari budaya yang partial, budaya yang dibatasi oleh batas-batas teritori menjadi budaya yang universal global yang kini tak lagi dibatasi oleh teritori baik darat, laut atau udara sebuah komonitas atau geografi wilayah.

Pada awal kemunculannya budaya populer memposisikan diri sebagai counter culture yang melawan kemapanan, menawarkan alternatif bagi sebuah masyarakat yang berubah, kemudian menjadi katalisator yang berfungsi sebagai ‘pemersatu’ unsur-unsur masyarakat yang terpisahkan kelas dan status sosial ke dalam satu komunitas massa ‘maya’(baca: bukan sesungguhnya). Komunitas tersebut disebut ‘maya’ karena seperti hakekatnya sebuah bentuk komunikasi massa yang khalayaknya anonim dan tersebar. Komunitas dari budaya populer acapkali bersifat tersebar dan anonim. Mereka dipertemukan ketika budaya populer tersebut berwujud. Sebuah grup musik yang sedang naik daun atau terkenal adalah salah satu contoh budaya populer. Penggemarnya berada di berbagai pelosok daerah dan negeri, dipersatukan pada saat band tersebut tampil, yang walaupun tampilnya di stasiun televisi, menyatukan para penggemarnya untuk menyaksikan. Dan pada saat itu mereka menjadi komunitas massa ‘maya’.

Fenomena J-Rock adalah contoh dalam hal ini. J-Rock merupakan aliran musik rock yang muncul di negara Jepang. Diawali oleh larc~en~cil menjalar ke band-band lain yang gaya bermusiknya sejalan dengan nafasnya. Kemudian, media massa memainkan perannya dengan sempurna. Setelah diekpos secara besar-besaran melalui media komonikasi massa (televisi, radio, internet dll) musik rock khas negara Jepang tersebut menjadi booming dan dikenal diseluruh dunia menjadi aliran musik rock tersendiri. Setelah dikenal melalui publiksasi media J-Rock termenjadi fenomena budaya global (populer). Tak heran bila di Indonesia bermunculan band-band yang bernafaskan J-rock. Bahkan ditingkat lokal kabupaten sumenep yang jauh dari negara Jepang banyak bermunculan band indie aliran j-rock.

Dalam pembentukan budaya pop seperti yang digambarkan diatas merupakan peran dan pengaruh yang sangat besar yang diberikan oleh media massa ditengah-tengah kehidupan sosial masyarakat. Orang yang terpisahkan oleh wilayah yang sangat jauh sekali dan sama sekali tidak kenal disatukan dalam dalam sebuah komonitas baru.

Film Indie SMANSA SUMENEP

Film adalah media yang paling efektif untuk menyampaikan pesan, karena film adalah media komunikasi. Dalam Mukaddimah Anggaran Dasar Karyawan Film dan Televisi 1995 dijelaskan bahwa film: “…bukan semata-mata barang dagangan, tetapi merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya pengaruh yang besar sekali atas masyarakat, sebagai alat revolusi dapat menyumbangkan dharma bhaktinya dalam menggalang kesatuan dan persatuan nasional, membina nation dan character building mencapai masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila".

Film sebagai medium budaya yang sekaligus medium komunikasi massa, merupakan salah satu produk budaya populer. Berbicara tentang komunikasi massa, tentu layak bila kita memasukkan film sebagai media dari budaya populer. sejak kemunculan perdananya telah menjalankan fungsinya sebagai media komunikasi, yang paling jelas terlihat adalah fungsi sebagai media informasi dan media hiburan. Film juga menjalankan fungsinya sebagai media massa, yang melayani konsumen atau khalayak yang anonim, heterogen, dan tersebar. Hal ini didukung oleh sifat kebaruan (novelty), gerak, warna, dan audiovisual yang dimilikinya. Film yang awalnya berfungsi sebagai hiburan kini bermetmorfosa menjadi media pembentuk realitas khalayak. Film Ayat-Ayat Cinta disusul kemudian yang segera rilis Ketika Cinta Bertasbih menjelmakan diri ditengah masyarakat sebagai alternatif media dakwah. Kedua film tersebut mampu memposisikan diri menjadi penyampai nilai-nilai Islam yang menarik.

Banyak teori menyatakan bahwa film sebaiknya menjadi cerminan seluruh atau sebagian masyarakatnya, alias ada kritik sosial disana. Film sebaiknya mempresentasikan wajah masyarakatnya. Fungsinya sebagai arsip sosial yang menangkap Zeitgeist (jiwa zaman) saat itu Dan penonton terasa dekat dengan tema yang hadir dan bahkan serasa melihat dirinya sendiri, bahkan diajak mentertawakan dirinya sendiri, mengkritik dirinya sendiri. Dengan menghadirkan wajah masyarakat yang sesungguhnya, maka film itu pelan-pelan akan memfungsikan dirinya menjadi sebuah kritik sosial. Kalau kita setuju dengan hal ini, maka kita bisa menyatakan film seperti Marsinah (Slamet Djarot), Eliana Eliana (Riri Riza), Bendera (Nan Achnas), Arisan! (Nia Dinata), sebagai perjuangan awal kritik sosial generasi baru sineas Indonesia.

Bagaimana dengan Festival film indie Smansa?. Festival film indie Smansa yang dikemas dalam format resital menayangkan film hasil karya siswa-siswi smansa. Film tersebut menarik terlepas dari teori film ideal (yang sebenarnya), karna yang membuat film tersebut masih pelajar yang sibuk dengan kegiatan sekolah. Semua dialog dalam film tersebut menggunakan Bahasa Madura. Bahkan semua unsur film cerita, tokoh, latar, dan lain-lainnya murni Madura. Permasalahan yang diangkatpun merupakan permasalahan sehari-hari yang juga dialami langsung oleh semua orang tanpa terkecuali diluar madura, khususnya permasalah sosial budaya yang menyentuh dan bersinggungan langsung dengan dunia anak (siswa).

Bagi sebagian orang Bahasa Madura merupakan bahasa yang unik dan aneh dalam kebudayaan Indonesia. Buktinya kalau kita berada ditempat lain diluar Madura kemudian berbicara menggunakan Bahasa Madur, maka orang disekitar yang mendengarkan akan merespon dengan cibiran dan menertawakan. Selama ini orang-orang diluar cenderung perpandangan streotip terhadap Madura. Madura diidiomkan dengan keterbelakangan budaya, masyarakat udik, sandal jepit, sarungan, miskin, kotor dan idiom lain yang memalukan.

Film tersebut menggambarkan secara jelas dan nyata dari kehidupan sosial Madura. Kehidupan yang sama dan akan kita temukan dikomonitas sosial lain diluar madura. Sebuah visualisasi yang jujur, apa adanya tentang masyarakat Madura saat ini yang tentunya dengan kekhasan karakter masyarakat. Sebuah karakter masyarakat Madura dengan tempaan alam yang tidak akan pernah dimiliki oleh orang luar. Dan visualisasi kehidupan anak-anak muda Madura yang berada ditengah arus persimpangan globalisasi. Salah satu film menyuguhkan adegan tentang anak yang menggunakan jejaring dunia maya (internet) untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupannya. Gambaran kehidupan tersebut sama dan tak jauh beda dengan anak-anak diluar Madura termasuk denagn anak-anak di dunia lain yang sudah maju. Saat ini anak-anak Madura sudah akrab dengan teknologi informasi (internet), halini sama dengan anak-anak ditempat lain yang dianggap sudah berperadaban maju.

Penulis memandang apa yang dilakukakan oleh anak-anak Madura dalam Festival Film Indie sebagai Counter culture. Melalui film generasi muda Madura melakukan perlawanan budaya, sebuah budaya tandingan yang berhadapan langsung dengan hegemoni budaya mapan saat ini yang didengung-dengungkan masyarakat diluar Madura. Film merupakan produk budaya pop yang dijadikan media komonikasi perlawana budaya. Media komonikasi budaya pop berbentuk film menjadi alat untuk mengkomonikasikan Madura dengan budayanya kepada orang luar termasuk masyarakat global. Melalui karya film indie generasi muda Madura menghapus pandangan sempit dan picik yang cenderung mendiskreditkan Madura selama ini. Selain itu merupakan kritik sosial khusunya masyarakat luar untuk merubah pandangan terhadap Madura selama ini yang salah dan keliru. Film tersebut menyatakan dengan terang bahwa Madura adalah masyarakat dengan budaya dinamis dan berperadaban maju selaras dengan perubahan zaman. Berbeda sama sekali dengan yang dituduhkan selama ini terhadap Madura.

Di sisi lain, sekalipun film tersebut banyak berkutat dalam dunia remaja (siswa), film tersebut berfungsi sebagai dokumentasi nilai-nilai keidupan sosial masyarakata Madura. Karya film itu menjadi referensi bagi penelitian perkembangan kebudayaan Madura. Dan yang lebih, karya film tersebut merupakan pembuktian kepada masyarakat luar bahwa anak-anak Madura memiliki kecakapan dalam “bermain” di wilayah budaya pop. Selam ini kemampuan membuat film hanya dimiliki oleh anak-anak yang tinggal di kota besar dengan dukungan ekonomi yang mapan dan fasilitas yang lengkap. Ini adalah momen pembuktian bahwa sekalipun jauh hidup di kota kecil dan pencil seperti sumenep, dan dukungan peralatan apa adanya mampu menciptakan sebuah icon budaya pop.

Penulis meyakini film indie karya siswa ini apabila diekspos besar-besaran melalaui media massa dan disaksikan oleh jutaan orang diluar akan berpengaruh besar dalam merubah pandangan streotip selama ini. Dari film tersebut orang diluar bisa mengambil pesan bahwa orang Madura dengan budayanya tidak jauh beda dengan orang luar. Tentunya juga bermimpi agar film itu masuk dalam festival film indie yang berkelas. Kalaupun tidak film indie karya siswa tersebut bisa masuk jejaring maya sehingga bisa diakses oleh masyarakat seluruh dunia. Apabila ini dilakukan dan betul terjadi, film tersebut akan menjadi media penyampai tentang Madura dengan kekhasan masyarakat dan budaya yang dimiliki.

Sebuah perlawanan elok dan menawan yang dilakukan oleh generasi muda untuk merubah pandangan streotip masyarakat luar atas Madura. Perlawanan yang dilakukan tidak dengan celurit, pedang, senapan dan alat perang lainnya, tetapi dengan budaya pop. Perlawan bukan dengan menggunakan kendaraan perang lazimnya seperti pesawat tempur kapal perang, tank dan sebagainya. Generasi muda Madura melawan dengan menggunakan kendaraan media komonikasi massa berbentuk film.

Tulisan ini diperkaya dari sumber :

http : // puslit.petra.ac.com/journal/commonication.

http : // ericsasono.blogspot.com

http : // forumbudaya.org.com

Syafiuddin Syarif , penulis pemula tinggal di Sumenep, guru SMAN 1 Sumenep.

1 komentar:

Budaya Pop mengatakan...

Stereotip memang menjebak. Stereotip hanya memandang kulit bukan hati. Perlawanan stereotip menggunakan budaya pop, benar-benar ide brilian.

Posting Komentar

Pengikut

 

TANAH KAPOR | Creative Commons Attribution- Noncommercial License | Dandy Dandilion Designed by Simply Fabulous Blogger Templates