(catatan atas film “ HIDUPKU”)
Seorang anak pintar dari keluarga miskin, kerapkali menjadi pengisahan yang menarik, melankolis, sekaligus miris. Dalam realitas kehidupan menjadi orang miskin sangat tidak enak, karena kehidupan sekitar demikian konsumtif. Tuntutan aneka kebutuhan kian menggunung dengan harga tak tertang gungkan. Jika kemudian memiliki anak pintar atau berprestasi kerapkali terkendala dana untuk melanjutkan ke jengjang yang lebih tinggi. Namun, tidak dapat diingkari bahwa bukan tidak ada anak-anak pintar di sekitar kita berasal; dari keluarga yang kurang beruntungs secara ekonomi.
“Hidupku” film garapan teman-teman dari SMA Muhammadiyah 1 Sumenep yang pupuler dengan SMA MU (em-yu) sangat menarik untuk ditonton dan diapresiasi. Cukup menarik karena film ini menggambarkan seorang anak dari keluarga yang kurang mampu secara ekonomi, namun memiliki otak jenius. Anak seorang penjual air, pintar fisika, cerdas. Namun memiliki kelainan atau penyakit semacam hilangnya kesadaran di tengah aktivitas yang dilakukan. Pada saat jam pelajaran berlangsung dalam kelas.
Anak keluarga tak mampu, kemudian menjadi seorang anak berprestasi, cerita jamak yang sering kita saksikan dalam beberapa film sinetron yang menguras airmata. Dalam film yang berdurasi 10 menit ini layar dibuka dengan adegan seorang tua yang berpeyakit batuk, pamit pada anak satu-satunya untuk berangkat kerja mendorong gerobakl air. Pembuka yang mendorong penonton pada empati kerja berat dan keras untuk bisa bertahan dalam kehidupan yang demikian konsumtif.
Adegan berpindah dalam ruangan kelas, sekolah sang anak. Raungan kelas yang gaduh dan tiba-tiba beberapa cewek mengabarkan pada teman-temannya kalau Rofi yang jago fisika anak orang tidak punya, bajunya kusut, sepatu bolong . Cibiran yang kemudian diamini teman perempauan lain dalam kelasnya. Suasana yang mencoba menggambarkan kondisi kelas kekinian, cewek-cewek yang suka ngegosip, trendy dengan bahasa gaul sebagai identitasnya. Kalau perlu potongan-potongan bahasa inggris baur dialek jakarta sebagai tanda penguat kekiniannya. Kisah yang lumrah terjadi dalam kelas di sekolah SMA.
Namun ada hal-hal yang menggangu dalam upaya membangun relaitas dalam kisah yang akan disampaikan kepada penonton yang ada dalam dunia realitas; pertama, kehidupan dunia kelas dalam persekolahan agak terganggu dengan kondisi pembelajaran di kelas yang ssangat konvensional. Terutama dengan materi pengajaran fisika yang tiba-tiba dimunculkan dengan rumus dan dilanjutkan dnegan mengerjakan soal. Sebuah cara yang tidak lazim lagi dalam pendekatan pembelajaran karena itu hanya akan mengisi otak anak dengan rumus yang takkan dipahami maknanya dalam kehidupan. Gambaran semacam ini hanya akan terjadi pada kelas yang menjadikan anak sebagai obyek dan dilepaskan dari kehidupan yang nyata. Artinya pembelajaran fisika mutakhir, telah mengarah kepada pembelajaran kontekstual, dengan melakukan konstruksi pemahaman dari pengalaman anak atau peserta didik.
Kedua, suasana kelas saat pembelajaran berlangsung guru seperti kehiangan kendali ketika terjadi pertengkaran antara tiga orang murid perempuan karena menghina Rofi yang dicemooh saat meminta guru matematika untuk memberikan contoh yang mudah dipahami.
Ketiga, tragika jatuhnya Rofi ke dalam sungai yang ada di depan sekolah. Apa penyakit yang dideritanya sampai jatuh ke sungai. Jika ayan seharusnya saat penyakitnya kambuh dalam kelas tidak menunjukkan gejala semacam itu (bergumam sambil berjalan keluar kelas).
Tapi patut untuk dicamkan bagi semua bahwa tidak baik mencerca, menghina teman yang tidak berpunya. Namun kita harus membuka diri utnuk menerima kawan sebagai teman untuk berbagi bersama. Wellcome SMA MU. I miss U.
Hidayat Raharja, guru, esais dan Pengelola Blog SAVANT; Anak-anak yang tak bi(A)sa menulis tetapi berani menulis.
Jumat, 12 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar