Rabu, 27 Mei 2009

"TAO TENGGU DIBI’": GADO – GADO YANG TERPELESET DALAM MONOTONITAS

Komedi adalah sebuah lelucon yang seringkali mengolok-olokkan diri sendiri atau kenaifan orang lain. Ada kalanya komedi dengan melakukan kesalahan pengucapan atau keseleo lidah, sehingga membuat tertawa. Komedi dalam film lebih leluasa karena bias mengeksplor gerak dan sutuasi. Namun bukan hal mudah untuk bisa membuat sebuah film yang membuat penonton tertawa, karena bisa-bisa komedi alur komedi yang ditawarkan bisa ditebak penonton, sehingga tak lagi ada surprise dan terasa hambar.

Apa yang ditawarkan dalam film pendek “Tao Tenggu Dibi’” produksi Chem_Fact Production kelas X-8 memberikan kejutan dengan pengambilan gambar yang bagus dan jalan cerita yang runtut. Joe si tokoh yang kekanak-kanakan, sudah remaja tetapi kelakukannya seperti anak kecil – suatu gangguan mental, namun dia bersekolah di SMA pada umumnya. Tawaran-tawaran lelucon yang berlangsung antara tingkah Joe dengan ayahnya yang kadang bertindak konyol, dengan ide segar sembari ,enyerempet pada petuah-petuah tradisi lokal yang harus dipertahankan.

Cerita terus mengalir pada penemuan sebuah peta yang kemudian dilanjutkan dengan petualangan untuk melacaknya, dan menemukan harta karun. Namun di sini lagi ternyata peta yang ditelusuri merupakan tempat Joe bersemadi. Mereka kemudian bersama-sama tidak menemukan apa-apa. Namun dengan gembira kembali ke rumah. Sodoran cerita yang cukup menarik dengan impian-impian ala remaja yang khas. Namun tayangan ini agak terganggu saat menyodorkan tayangan dalam kelas yang tidak mungkin ditemukan realitasnya, sementara dari awal kisah dimulai amat dekat dengan realitas. Saat kreator ingin mengangkat potensi budaya lokal, secara frontal mengolok-olok guru dalam ruangan kelas, sementara dalam konteks budaya lokal guru merupakan salah satu tugas yang dimulyakan. Artinya jika ingin mengangkat budaya lokal, maka banyak peluang yang bisa dijadikan bahan lelucon, tidak harus guru seperti pada tayangan lelucon di televisi atau sinetron. Bukankah tayangan televisi banyak dikritik karena tidak mengandung unsur edukatif? Sayang memang!!!

Tetapi secara kreatif, banyak hal yang dapat diungkap dalam film ini. Judul film menggunakan bahasa Madura yang secara eksplisit menyerahkan kepada penonton untuk mencarfi sendiri makna yang disodorkan. Nyatanya memang tidak ada makna berarti dalam tayangan ini. Ini sebuah kreatifitas yang mengajak penonton untuk melepaskan beban, tanpa harus mengerutkan kening untuk memahaminya. Cuma, beberapa adegan saat melakukan penelusuran peta harta karun, para pemain bukan seperti melakukan petualangan yang mendebarkan. Ekspresinya lagak tengah berakreasi yang tanpa beban berat untuk menemukan letak peta yang tengah ditelusurinya.

Ayo terus berkarya, jangan pernah berhenti. Karya terbaik adalah yang belum kita buat, sehingga harus segera dibuat. Sebab, karya yang telah dibuat akan selalu ditemukan kekurangannya. Salam kreatif, sampai jumpa pada kesempatan yang lain. (Hidayat Raharja)

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut

 

TANAH KAPOR | Creative Commons Attribution- Noncommercial License | Dandy Dandilion Designed by Simply Fabulous Blogger Templates