Rabu, 27 Mei 2009

ALALABANG : MEREVITALISASI BUDAYA MADURA

Kesenian tradisional masih berkembang subur diwilayah pinggiran atau sebut saja pedesaan sebagai salah satu media hiburan masyarakat pendukungnya. Ia tetap bergerak walaupun digempur kanan kiri oleh budaya urban atau lebih ngetrendnya budaya global. Ia masuk dan merasuki wilayah budaya lokal melalui media yang bernama tekhnologi, baik itu melalu pesawat televisi anda ataupun VCD suka-suka anda dan jenis-jenis kesenian lainnya. Memang kebudayaan itu bergerak dan berkembang ke wilayah manapun saja melintasi ruang dan waktu. Sudah banyak kita temui jenis hiburan rakyat yang sudah bergeser ke wilayah budaya baru. Generasi muda sudah tidak mengenal lagi bagaimana fungsi kesenian tradisional, dan mungkin malah enggan untuk mau melihat kesenian tradisional yang semalam suntuk dipagelarkan dilapangan terbuka. Entah alasan takut masuk angin atau malah dilarang oleh orang tuanya. Sebenarnya ruang publik dengan pagelaran kesenian tradisional mengandung wacana nilai-nilai kearifan lokal baik yang ditemukan di dalam pementasan kesenian tradisional ataupun komunikasi silahturahmi antar penonton. Tetapi yang kita temukan sekarang ini adalah peristiwa tawuran ditengah-tengah lantunan musik dangdut yang sarat dengan goyang maut si penyanyi.

Seni tradisonal yang berkembang dan masih hidup saat ini salah satunya adalah Topeng dhalang. Cerita yang disuguhkan masih seputar cerita Ramayana, Mahabarata dan Panji. Penggunaan bahasa Madura baik tingkatan bahasa Halus, sedang dan kasar masih menjadi bahasa komunikasi dalang. Topeng Dhalang ini masih menajdi bagian tak terpisahkan didalam acara siklus kehidupan manusia (Rokat, Perkawinan dan hiburan). Namun kalau kita melihat tingkatan usia penontonnya lebih banyak kaum tua yang memadati lapangan tempat topeng dhalang dipagelarkan. Dengan kondisi seperti inilah, Agus Suharjoko, selaku sutradara ALALABANG mencoba memberikan penawaran baru untuk kemasan seni tradisional dengan kemasan karya kekinian dengan istilah Seni Pertunjukan. Mengambil elemen nilai tradisional dan mengkolaborasikan beberapa jenis seni tradisional seperti; Macapat, Tetembhangan, Wayang rumput (wayang Pappa = pelepah daun pisang), tari kontemporer, papareghan dan teater modern, menjadi satu paket dengan durasi sekitar 30 menit.

Dalang dengan media wayang pappa dengan diiringi arak-arakan saronen dan peraga topeng berjalan dari arah penonton menuju panggung sebagai simbol Buju’ (kuburan keramat seorang tokoh) mengawali pementasan ALALABANG. Dalang mulai menceritakan seorang tokoh yang bernama Kyae Barumbung mempunyai santri bukan manusia tapi Mothak Potte (Kera Putih), yang disuruh menjaga perkebunan timun (di daerah Rubaru kabupaten Sumenep memang dikenal sentra perkebunan mentimun). Mothak potte itu menjaga perkebunan mentimun milik kyai Barumbung karena setiap malam banyak mentimun yang dicuri. Dengan nasehat sang kyai dan kepandaian sang mothak, mentimun itu dicat dengan kapur sehingga dimalam hari mentimun itu memantulkan cahaya rembulan sehingga selalu kelihatan oleh sang mothak. Dan Kyai barumbung pun memuji kesetiaan dan kecerdasan mothak sehingga semua ilmu yang dimiliki oleh sang Kyai diturunkan kepada mothak potte, dan suatu hari mothak tersebut menjelma menjadi Hanoman.

Dimulailah pementasan fragmen Cerita Ramayana dengan topeng dhalang sebagai salah satu acara rangkaian rokat bhuju’ tersebut dengan cerita hanoman yang diutus oleh Rama untuk mengambil Dewi Shinta yang direbut oleh Rahwana. Dan dibantu oleh oleh pasukan kera akhirnya dewi Sinta dapat dikembalikan ke pangkuan Rama oleh Hanoman. Diakhir pertunjukan semua peraga berarak-arakan kembali dengan diiringi musik saronen keluar panggung untuk “ngalalabang” lagi. Pertunjukan ALALABANG menggunakan konsep pertunjukan pada saat dulu dimana seni tradisional mengamen dari pintu kepintu atau dari bhuju ke bhuju’ sebagai sarana upacara ritual. Namun kali ini dikemas ke wilayah panggung sebagai seni pertunjukan.

ALALABANG 1 karya Agus Suharjoko ini telah mengikuti beberapa ivent dan sebagai penyaji terbaik dari Festival seni Pertunjukan se Jawa Timur 2006 di Malang, Festival seni tradisi lisan se Jawa di Jogyakarta 2007, festival seni tradisi lisan se Asia di Taman Ismail Marzuki 2007, apresiasi pertunjukan tradisi lisan bagi pelajar di SMU Muhammadiyah Jakarta dan sebagai duta seni propinsi Jawa Timur pada Pesta Kesenian Bali 2007 di Art Centre Denpasar-Bali. Dengan didukung oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan kabupaten Sumenep, Lembaga Tanah Kapur dan Komunitas Teater SMANSA.
Tim Produksi :
Sutradar : Agus Suharjoko, S.Sn.
Penata Musik : Akhmad Darus
Penata Artistik : Agus Suharjoko, S.Sn.
Pemain : Resi Eka Yuliana, Eka Fitria Sari, Fitri Indah Kadaryanti, Beladona, Nency Puspita Sari, El Fatmala dan Rukun Pewaras(by. agus teater)

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut

 

TANAH KAPOR | Creative Commons Attribution- Noncommercial License | Dandy Dandilion Designed by Simply Fabulous Blogger Templates