Budaya urban sebuah konsekuensi dari persilangan antara budaya lokal dengan budaya asing yang diboncengi kapitalisme dengan ajaran gaya hidup konsumtif bagi setiap penganut yang terseret ke dalamnya. Kota kecil tak jauh beda dengan kota metropolis, karena warna metropolis banyak ditemui juga di kota kecil. Keberadaan desa tak jauh berbeda dengan kota, karena desa juga telah diinvasi oleh jaring-jaring budaya kapital lewat kejelian media teknologi audiovisual yang demikian gampang dan mudah didapatkan sampai ke pelosok desa..
Hadirnya televisi, VCD/DVD telah memberikan sumbangan besar bagi kehidupan dan perubahan gaya hidup masyarakat dunia ketiga. Lewat televisi khotbah kehidupan selalu bergema sepanjang waktu memasuki ruang keluarga. Bagaimana televisi telah mengajari kita untuk yakin bahwa gemuk tak cantik, bahwa kurus seksi. Bagaimana pula kehadiran stasiun televisi mengkhususkan dirinya menyajikan musik sebagai tayangan yang disodorkan bagi dunia anak muda. House Music, Dance Music yang menghentak-hentak memasuki dinamika kehidupan kaum muda. Bahkan sejak beberapa tahun yang lalu salah satu stasiun televisi – Global TV – membikin acara live sebuah kompetisi dance yang dilangsungkan di berbagai kota untuk menyeleksi para pemenangnya memperebutkan hadiah tertentu. Ajang pertarungan yang sangat kompetitif dilakukan secara sportif.
Inilah salah satu kultur anak muda yang coba digarap oleh anak-anak nongkrong X-2 dalam “Slamet In The Movie” (SITM) dengan sutradara Januarsyah Zulfikar. Persoalan anak muda yang amat sensitif terhadap datangnya budaya baru. Bagaimana seorang Slamet yang “Katrok” memasuki kehidupan baru sebagai anak kota, dan kemudian terpengaruh untuk belajar dance seperti yang dilakukan teman-temannya. Ke-katrok-an yang dipertegas dengan kostum dengan songkok dipasang menyamping dan wajah yang lugu. Sebuah gambaran yang memudahkan penonton untuk memasuki alur certa yang akan dipaparkan.
Ada dua hal yang dapat dibaca saat menyaksikan film pendek “ Slamet In The Movie”, pertama dance sebagai bahasa pergaulan mereka di antara kesesakan dan kesuntukan pelajaran di sekolah. Dance sebagai ikon kaum muda yang dinamis, penuh gelegak dan gelora. Sebuah peradaban kaum muda yang begitu fleksibel menerima perubahan. Kultur yang telah mengubah pola hubungan antar sesama. Bagaimana persilangan bahasa Madura yang penuh tatanan masuk dalam gerakan tubuh yang dinamis dan ekspresif. Representasi dari cara mereka berkomunikasi dan berpakaian sebagai sebuah cermin kondisi hidup kekinian. Kehidupan yang demikian terbuka dan kompetitif, dan bahkan cenderung anarkhis.
Kedua, tayangan sebuah keadaan bagaimana pengaruh kultur urban terhadap pola hubungan antara guru dan murid atau juga sesama mereka . Bagaimana sebuah ironi ditayangkan saat ulangan remidi, guru yang tertidur di dalam kelas ditinggalkan muridnya. Apakah guru tertidur karena malam harinya banyak obyekan atau karena sudah tak peduli lagi terhadap penilaian yang dilakukannya. Artinya guru sudah memberikan nilai tidak lagi obyektif, karena hasil ulangan tak lagi menjadi pertimbangan dalam pemberian nilai. Bagaimana pula realitas kelas yang disodorkan, saat ujian siswanya kompak saling bekerja sama, saling mencontek.. Sebuah goresan tebal – kalau tak menyakitkan terhadap budaya lokal yang menjunjung tinggi harkat guru. Bapa’, Babu’ , Guru, Rato strata kepatuhan bagi masyarakat Madura. Guru menempati posisi sebagai pengganti orangtua. Betapa bangga anak-anak kita memperolokkan guru dalam sebuah parodi karikatural, sebagai obyek lelucon seperti yang banyak diajarkan dalam sinetron-sinetron dalam televisi kita. Betapa televisi telah sukses memasuki pikiran kaum muda untuk membangun sebuah pemahaman baru tentang dunia pendidikan.
Munculnya tayangan cerita semacam ini, bisa menjadi sebuah permenungan bagaimana perubahan pemikiran dan pemahaman bergerak dalam pikiran kaum muda. Bahwa tradisi yang menghamparkan kearifan-kearifan lokal, ada yang tergerus oleh gelombang perubahan budaya asing yang menghantam dan mengoyak budaya setempat. Hal ini bukan untuk disesali tetapi perlu diarifi bersama, bagaimana mengangkat hal-hal yang memang baik untuk bisa dihidupkan kembali dan hal-hal yang buruk untuk ditingggalkan.
Tapi hal lain yang cukup menarik dalam tayangan SITM, sosok Slamet yang lugu namun juga konyol mengingatkan kepasda sosok si Kabayan. Kekonyolan yang menyebabkan dia harus pulang ke kampung karena ayam peliharaannya mati. Secara visual SITM tak jauh berbeda dengan Football Street. Cuma para aktor SITM sangat kaku dalam memainkan gerakan dance yang dinamis. Barangkali inilah yang harus diperhatikan oleh para pemain bahwa film adalah sebuah realitas rekaan dalam gambar. Artinya bahwa, ketika kita memainkan peran penari harus mampu dan betul-betul menguasai tari yang kita mainkan. Selamat Belajar , jangan banyak – banyak remedi. Good Luck! (Hidayat Raharja)
Rabu, 27 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar