Recehan-recehan dikumpulkan dari masing-masing siswa, merogoh sedikit uang jajan yang diberikan oleh orang tua. Terkumpullah 200 ribu rupiah yang dikelolah oleh tim produksi masing-masing kelas. Kelas mulai membentuk tim produksi (Pimpinan produksi, penulis skenario, sutradara, tim artistik, pemain dan crew). Dengan kesepakatan yang demokratis terpilihlah tim produksi yang akan menangani proses pra produksi dalam pembuatan film. Dengan hiruk pikuk dalam pemilihan pimpinan produksi, kayak sehiruk pikuknya “Kampanye Pilkada” yang lagi ngetrend di dunia politik bumi kita saat ini.
Minggu berikutnya kelas mulai ramai dengan proyek recehan yang harus terlaksana sesuai dengan target jadwal kegiatan produksi film. Film maker-film maker amatiran tumbuh bak jamur di bawah pohon tua yang mulai menggugurkan daun-daunnya. Tunas-tunas muda dengan kegairahan yang membludak menyemaikan musim ajaran baru yang penuh dengan kegiatan KBK dan nilai ketuntasan minimal 7,5 yang harus terpenuhi (kalau tidak yang tentu REMIDI). Para siswa yang tergabung dalam tim skenario berlomba-lomba mengeluarkan ide imajinatif dan memang terlihat wajah-wajah yang bengong dan menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarya tidak berketombe. Merancang dan mendiskusikan ide kedalam goresan-goresan scine menjadi pemandangan di dalam kelas pelajaran seni budaya selama 2 kali tatap muka. “Pak, bagaimana kalau film yang akan kita buat bertemakan cinta”, celetuk seorang dari tim skenario, memulai diskusi hangat seputar alur dari tema yang akan dijadikan bahan diskusi skenario. “ok, boleh-boleh aja, tapi harus mengeksplore kearifan budaya local sebagai ide garap untuk kekuatan film kalian”, tukasku mengarahkan diskusi para film maker muda ini. Seminggu kemudian terkumpullah 8 skenario film dan menjadi awal garapan selama proses produksi dimulai.
Anggaran untuk membeli kaset handycam mengawali pelaksanaan hiruk pikuk shooting yang akan dikerjakan selama 3 bulan ke depan, tiap sore ramai siswa-siswi dari kelas X-1 sampai X-8 hilir mudik di studio media (tempat tongkrongan ekskul cinematografi), pagi samapi siang mereka belajar di dalam kelas, sore saat matahari condong ke barat mereka sibuk ber cut to cut adegan di ruang-ruang public dan Action “mana ekspresinya ???” (kayak disalah satu iklan televisi), dan matahari mulai terbenam mereka sibuk menyelesaikan tugas untuk hari berikutnya di sekolahan. Capek pak, sibuk pak, asyik pak dan kata-kata itu sering terlempar dari sekian mulut film maker-film maker muda ini.
Suasana serius dan emosi yang dicairkan oleh “arojak abareng” setelah selesai shooting, menjadikan para siswa itu semakin kompak dan rasa kekeluargaan yang mereka dapatkan saat proses produksi. Membuat film itu murah, tapi terkadang kebutuhan non artistic inilah yang membuat anggaran membengkak untuk membuat sebuah film, namun memang proses “sosialisasi” itulah yang banyak mengeluarkan tambahan dana.
Awal bulan Juni saat SMA Negeri 1 Sumenep menggelar ujian semester dan ujian blok, para film maker muda istirahat total untuk menyiapkan segala kebutuhan amunisi untuk ujian dan proses pasca produksi dilakukan saat para editor meluangkan waktunya yang super sibuk itu untuk menyelesaikan editing agar film yang mereka buat dapat ditayangkan dalam acara RESITAL 2008.
Mahalkah membuat filim ?? iya benar seratus persen. Karena yang mahal adalah ide, kreativitas, perjuangan dan inovasi yang semuanya ditumpahkan melalui karya. Akhirnya, patut kita hargai setia karya yang mereka tawarkan kepada kita.(by. Agus teater)
Rabu, 27 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar