(catatan atas film “ Senyum Yang Terabaikan”)
Di atas kloset
Mimpi jadi presiden
Plung!
(Jose Rizal Manoa)
Di atas kloset
Mimpi jadi presiden
Plung!
(Jose Rizal Manoa)
Saat duduk di atas kloset semua orang akan kehilangan identitasnya, karena tugas berat yang dilakukan untuk membuang sisa metabolisme , BAB (Buang Air Besar). Saat menunggu plung seringkali melintas bayangan impian yang tak pernah direncanakan. Pun juga pada puisi Haiku yang dibuat Jose Rizal yang menjadi pembuka tulisan ini, melambungkan ingatan mimpi jadi presiden. Siapa pun boleh mengimpikan menjadi apa saja. Tak ada larangan utnuk melambungkan impian sampai setinggi bintang di langit, namun dibutuhkan kerja keras, dan pantang menyerah untuk meraihnya. Tak ada impian jadi kenyataan seperti batu menggelinding dari ketinggian.
“Senyum Yang Terabaikan” adalah sebuah bayangan impian seorang Aditya seorang remaja berseragam abu-abu di suatu sekolah menengah mengikuti olimpade matematika dan memenagnkannya. Bagaimana ia membayangkan dari atas klosed saat guru pembina mengumumkan kesertaannya dalam olimpiade di depan kelas yang disambut tempik-sorak teman-temannya. Bagaimana ia membayangkan guru pem bimbimngnya mendapatkan pujian dari rekan guru pengajar yang lain. Juga bagaimana upacara pelepasan diadakan dengan segenap doa dan pengaharapan. Sampai membayangkan kemeriahan menyambut kedatangan sang runner olimpiade internasional yang diiikutinya. Semua dibayangkan dari atas klosed.
Jalinan gambar yang menarik, ketika segenap masyarakat dan orangtua demam olimpide sebagai lambang prestise keberhasilan dunia pendidikan. Sebuah impian yang dibangun oleh setiap lembaga dan institusi pendidikan, sampai kemudian dilembagakan di setiap daerah (kabupaten) sampai di tingkat satuan pendidikan (sekolah). Meski pada kenyataannya impian tak semanis yang dibayangkan. Dibutuhkan kesungguhan, pengorbanan, dan pendanaan untuk bisa meraihnya, dan dukungan dari institusi pendidikan (Dinas Pendikan) dan Pemerintah Daerah. Kenyataannya pembinaan olimpiade sains, matematika, astrologi, dilakukan dengan setengah hati. Pembinaan yang tidak kontinyu dan pendanaan yang tak memadai untuk mencapai sebuah prestasi. Apresiasi terhadap pembina jauh dari memadai.
Namun tidak demikian dengan impian Aditya dalam film berdurasi 9;57’ ini. Dengan jerih payah membuka berbagai refrensi dalam perputakaan, ia akhirnya berhasil mendapatkan juara runner olimpide matematika di tingkat internasional.
Sindiran yang cukup menarik, karena semua dibayangkan dari atas kloset, tempat yang bau namun perlu. Patut menjadi renungan bersama bahwa saat ini sepertinya tak ada ruang lain utnuk berprestasi di kancah internasional. Olimpade sepertinya menjadi lambang supremasi intelektualitas di kalangan terpelajar. Pada hal kesuksesan hidup tidak hanya ditentukan oleh penguasaan Matematika, Kimia, Biologi, Fisika, dan semacamnya. Dalam hidup dibtuhkan kecerdasan yang kompleks untuk bisa menghadapi tantangan hidup yang beragam dan dinamik. Betapa banyak mereka yang tak pintar secara koghnitif, namun memiliki kecerdasan emosional dan spiritual yang bagus juga bisa mencapai kesuksesan hidup yang sangat berarti bagi orang lain.
Ada catatan yang mengganggu dalam film ini, pertama; kenapa saat aditya berangkat mengikuti olimpade ke luar negeri tidak ada guru yang mendampinginya. Ingat, ini kesertaan olimpiade di tingkat internasional.
Kedua, saat turun dari bus yang menunjukkan kedatangan dari luar negeri hanya Aditya seorang yang turun dari bus. Serta suasana dan posisi bus justru menunjukkan suasana bus yang tengah ngetenm (menunggu penumpang), bukan menunjukkan bus yang datang darti luar daerah.
Ketiga, suasana artifisialnya lebih kentara daripada suasana natural terutama pada adegan pemberangkatan dan penyambutan yang menunjukkan latar sekolah yang tidak berpenghuni. Pada hal pelepasan dan penyambutan harusnya dilakukanpada jam efektif, suasana sekolah ramai. Angkat topi buat teman-teman di SMA MU. Wellcome.!!!!
Hidayat Raharja, Guru, Esais, pengelola Blog SAVANT; Anak-anak yang tak bi(A)sa menulis, tapi berani menulis
“Senyum Yang Terabaikan” adalah sebuah bayangan impian seorang Aditya seorang remaja berseragam abu-abu di suatu sekolah menengah mengikuti olimpade matematika dan memenagnkannya. Bagaimana ia membayangkan dari atas klosed saat guru pembina mengumumkan kesertaannya dalam olimpiade di depan kelas yang disambut tempik-sorak teman-temannya. Bagaimana ia membayangkan guru pem bimbimngnya mendapatkan pujian dari rekan guru pengajar yang lain. Juga bagaimana upacara pelepasan diadakan dengan segenap doa dan pengaharapan. Sampai membayangkan kemeriahan menyambut kedatangan sang runner olimpiade internasional yang diiikutinya. Semua dibayangkan dari atas klosed.
Jalinan gambar yang menarik, ketika segenap masyarakat dan orangtua demam olimpide sebagai lambang prestise keberhasilan dunia pendidikan. Sebuah impian yang dibangun oleh setiap lembaga dan institusi pendidikan, sampai kemudian dilembagakan di setiap daerah (kabupaten) sampai di tingkat satuan pendidikan (sekolah). Meski pada kenyataannya impian tak semanis yang dibayangkan. Dibutuhkan kesungguhan, pengorbanan, dan pendanaan untuk bisa meraihnya, dan dukungan dari institusi pendidikan (Dinas Pendikan) dan Pemerintah Daerah. Kenyataannya pembinaan olimpiade sains, matematika, astrologi, dilakukan dengan setengah hati. Pembinaan yang tidak kontinyu dan pendanaan yang tak memadai untuk mencapai sebuah prestasi. Apresiasi terhadap pembina jauh dari memadai.
Namun tidak demikian dengan impian Aditya dalam film berdurasi 9;57’ ini. Dengan jerih payah membuka berbagai refrensi dalam perputakaan, ia akhirnya berhasil mendapatkan juara runner olimpide matematika di tingkat internasional.
Sindiran yang cukup menarik, karena semua dibayangkan dari atas kloset, tempat yang bau namun perlu. Patut menjadi renungan bersama bahwa saat ini sepertinya tak ada ruang lain utnuk berprestasi di kancah internasional. Olimpade sepertinya menjadi lambang supremasi intelektualitas di kalangan terpelajar. Pada hal kesuksesan hidup tidak hanya ditentukan oleh penguasaan Matematika, Kimia, Biologi, Fisika, dan semacamnya. Dalam hidup dibtuhkan kecerdasan yang kompleks untuk bisa menghadapi tantangan hidup yang beragam dan dinamik. Betapa banyak mereka yang tak pintar secara koghnitif, namun memiliki kecerdasan emosional dan spiritual yang bagus juga bisa mencapai kesuksesan hidup yang sangat berarti bagi orang lain.
Ada catatan yang mengganggu dalam film ini, pertama; kenapa saat aditya berangkat mengikuti olimpade ke luar negeri tidak ada guru yang mendampinginya. Ingat, ini kesertaan olimpiade di tingkat internasional.
Kedua, saat turun dari bus yang menunjukkan kedatangan dari luar negeri hanya Aditya seorang yang turun dari bus. Serta suasana dan posisi bus justru menunjukkan suasana bus yang tengah ngetenm (menunggu penumpang), bukan menunjukkan bus yang datang darti luar daerah.
Ketiga, suasana artifisialnya lebih kentara daripada suasana natural terutama pada adegan pemberangkatan dan penyambutan yang menunjukkan latar sekolah yang tidak berpenghuni. Pada hal pelepasan dan penyambutan harusnya dilakukanpada jam efektif, suasana sekolah ramai. Angkat topi buat teman-teman di SMA MU. Wellcome.!!!!
Hidayat Raharja, Guru, Esais, pengelola Blog SAVANT; Anak-anak yang tak bi(A)sa menulis, tapi berani menulis
0 komentar:
Posting Komentar