Rabu, 10 Juni 2009

PANTANG MENYERAH SEBELUM TERCAPAI

(catatan atas film “SEMANGAT DALAM HIDUP)

Mahalnya biaya pendidikan seringkali kurang berpihak kepada masyarakat yang tidak berdaya secara ekonomi. Bukan sutau yang mustahil di kehidupan sekitar kita masih ada anak-anak yang tidak mendapatkan haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Meski mereka mampu menempuh kadang terasa diskriminatif karena mereka harus menanggungg beban biaya yang berat. Tidak mustahil pula jika kemudian di antara mereka sekolah sambil bekerja apa saja yang bisa mereka lakukan untuk memeuhi tuntutan kebutuhan.

Sekolah sambil bekerja untuk mendapatkan biaya pendidikan merupakan persoalan yang diangkat oleh penghuni kelas X4 dalam filmnya “ Semangat Dalam Hidup”. Suatu judul yang lugas dan mengantarkan penonton untuk sampai kepada pesan yang ingin disampaikan. Seorang anak dari keluarga tidak mampu yang bekerja sebagai loper koran dilakukan sebelum berangkat ke sekolah. Juga ngamen di terminal di siang hari sepulang sekolah. Cerita jamak yang bisa ditemukan di kota besar dengan berbagai persoalannya yang jlimet.

“Semangat Dalam Hidup” diawali dnegan adegan seorang anak yang pamit kepada orangtuanya untuk berangkat ngamen di sebuah terminal bis. Kehidupan keseharian yang sangat datar tanpa ada konflik yang berarti dengan segala kesederhanaanya si tokoh berdoa supaya berhasil dalam hidupnya dan kemudian menag lomba olimpide sains antar sekolah. Si tokoh dengan bangga berlarian membawa trophy ditunjukkan kepada orangtuanya.

Kisah yang sangat sederhana, namun tanpa ada penghayatan peran yang memadai hanya akan mengambang di permuakaan dan menyembunyikan pesan edukatif yang amat dalam. Bagaimana seorang anak harus bisa sekolah dengan menanggung biaya pendidikan sendiri, sehingga mereka sekolah sambil bekerja. Sayang, penghayatan terhadap si tokoh tak tampak dalam wajah yang menanggung beban berat kehidupan. Tak ada kepedihan itu, wajah menderita itu tidak ada. Sosok yang menanggung beban berat itu tidak ada, hanya rumah sederhana berdinding gedek yang mampu menunjukkan kondisi ekonomi keluarga.Sosok orangtua yang diperankan kurang proporsional, seorang mbah yang tak menampakkan ketuaan, selain wajah keluguan dan kekakuan dalam memainkan poerannya. Tidak tampak usaha si tokoh dalam usahanya memenangkan lomba sains. Sementara dalam realitasnya upaya untuk memenangkan olimpiade ini dilakukan dengan biombingan dan latihan intensif.

Tapi saya cukup bangga dengan film ini, karena semangat untuk meraih keberhasilan dalam keterbatasan ekonomi menjadi sebuah isnpirasi bagi semua. Bahwa kemiskinan bukanlah halangan untuk meraih cita-cita. Siapa saja bisa berhasil dan mampu meraih cita-cita. Asal disertai kerja dan kemauan keras untuk mencapai keberhasilan itu. Usaha keras yang disertai doa, karena Tuhan lah penguasa segala.

(Hidayat Raharja, Guru, Esais, dan Pengelola Blog SAVANT; Anak – Anak yang Tak Bi(A)sa menulis Tapi Berani menulis)

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut

 

TANAH KAPOR | Creative Commons Attribution- Noncommercial License | Dandy Dandilion Designed by Simply Fabulous Blogger Templates