Siang terasa panas dan pengap memenuhi atmosfer aula smansa. Jarum jam menunjukkan pukul 13.20, hiruk pikuk, kebingungan dan campur aduk perasaan bergelayut di wajah pimpro dan sutradara kelas X-2. kesemrawutan dimana-mana, persiapan gladi bersih yang kurang tertata rapi. Kerja tim produksi yang mungkin bisa menjadikan ketidak optimalan pada acara gladi. Dipojok sana seorang pemain lagi dirias yang semestinya sudah dari jam setengah 1 siang tadi, namun karena memang beginilah kondisi yang selalu tidak disiplin. Gerombolan pemain dan crew juga bergerombol di bawah panggung musik, dengan tanpa beban ngobrol tentang apa, akupun tak pham.
Setting tidak tertata rapi dan cukup seadanya, seperti pada saat latihan, mungkinkan persepsi tentang pelaksanaan gladi tak mampu menembus ruang apresiasi pada tim produksi kelas X-2. entah...gurunya mungkin yang keliru memberikan pemahaman.
Suasana semrawut begitu nampak, ada yang menenteng helm ke sana kemari dengan gaya sok sibuk oleh HP-nya, dan ada 2 cewek yang juga sibuk menata rambutnya dibalik jendela kaca. Sarung ala ninja menutupi wajah seorang pemain, entahlah mungkin baru kesurupan ninja dari negeri seberang sana. Sesekali kulihat wajah yang letih, seorang anak lelaki dengan menenteng tas model bolang, mungkin tak paham apa yang akan dia lakukan. Aula juga dijadikan lantai sky ala salju di negeri sakura, tak lain si wajah eror yang selalu energik dan memberikan suasana semakin naif pada tim produksi kelas X-2.
Cewek anggun berkaca mata dengan jilbab warna kuning duduk tenang menjadi juragan kecil dan sesekali ngupil. Penjual kacang yang juga asisten sutradara galau balau hatinya karena sementara yang lain belum siap (kacang...kacang... kaleeek pikirnya). Dan dua orang pemain lagi melaksanakan ritual sembah kepada pedagang sayur yang lagi duduk di kursi antik. Wah suasana yang ember dan cair untuk persiapan acara gladi bersih kelas X-2.
Acara gladi tepat jam 2 siang dimulai, dan pemusik sudah siap dengan actionnya. Ibu-ibu penjual sayur, ikan udah in action, emang kental sekali suasana pasar sebagai tempat bertransaksi, dan kucing-kucingpun dengan pelan dan sigap muncul sambil mengendus-ngendus mencari sisa-sisa kehidupan. Kucing-kucing yang genit lagi mempersoalkan nasibnya dan mengharap belas kasih pedagang-pedagang tersebut. ”Mengatasnamakan kemanusiaan”, itulah yang diharapkan kucing kepada manusia. Emang pedagang tidak semuanya berbudi baik kepada para kucing, dan komunikasi bahasa kucing emang yang tak mampu dipahami oleh manusia. Mimpi menjadi mahluk yang dipelihara oleh manusia yang statusnya kaya, menjadi mimpi indah bagi si kucing putih.
Keluarga kaya yang ingin merasakan suasana baru berbelanja di pasar tradisional, menjadi salah satu adegan satire kepada kehidupan masyarakat saat ini. : ”Ma, apakah pasar seperti ini menjamin kesehatan bagi kita?”, pertanyaan atau pernyataan yang mewakili masyarakat modern saat ini. Ibu kaya tersebut tertarik pada salah seekor kucing, dan membuat si kucing jadi geer. Namun diharapkan kucing tersebut sebelum di bawah pulang, harus di bawah ke dokter hewan, ketakutan yang memang bukan dibuat-buat. Kucing yang akan menjadi peliharaan orang kaya tersebut menjadikan dirinya menjadi kucing yang sombong.
Perubahan setting yang menarik tanpa mengurangi intensitas alur, karena musik mendukung perubahan setting dari suasana pasar menjadi ruang publik ”taman bunga”. Cerdas dan sangat menarik, itulah yang dilakukan oleh sutradara kali ini. Kucing putih semakin sombong dan angkuh sekali diperlakukan oleh orang kaya tersebut. Ada dua kucing hadir yang memang dulunya menjadi teman dan sahabatnya, namun kali ini kucing putih tersebut sudah menyangkal pernah menjadi sahabatnya. Konflik-konflik kecil terbina dengan dialig-dialog ketiga kucing. Dengan menampilkan ending si kucing putih didorong dan terjatuh ke dalam got sehingga tubuhnya kotor, dan tak dikenali lagi oleh si empunya. Sehingga penyesalan si kucing putih berakhir dengan happy ending, bahwa ” arti persahabatan adalah kembali pada diri kita sendiri”.
0 komentar:
Posting Komentar