Minggu, 30 Agustus 2009

SAMPAI KAPAN KESENIAN INI AKAN BERTAHAN

Oleh : Agus Suharjoko, S.Sn.


Apakah yang selama ini kita berikan untuk kesenian sudah maksimal menyentuh target yang kita inginkan? Ini sebuah pertanyaan yang menjadi kegelisahan penulis untuk membuka ruang diskusi kita. Perjalanan kesenian selama ini yang dapat kita rasakan hanyalah merupakan kegiatan rutin tanpa menyentuh nilai apresiasi dalam mengarungi ruang-ruang kreativitas pencarian dan pencapaian nilai estetika. Kita hanya mengulangi peristiwa-peristiwa diatas pangung yang pernah dilakukan sebelumnya oleh komunitas seni. Pencapaian estetika yang ditawarkan baik kelompok seni tradisional maupun modern belum pernah kita paparkan dalam ruang apresiasi bersama untuk menemukan dan mempertanggungjawabkan secara konsep artistik maupun pencapaian bentuk estetika yang didasarkan pada konsep garapan. Hal ini sangat perlu dilakukan menurut penulis, karena proses pencapaian artistik merupakan hasil puncak-puncak pencarian kreativitas yang perlu dikerjakan oleh komunitas seni.

Hal tersebut akan memberikan nilai apresiasi bagi penonton atau penikmat seni. Kebutuhan ini sering dilakukan oleh komunitas-komunitas seni yang ada di pusat kesenian (ibukota propinsi) sampai saat ini. Salah satu contoh apa yang dilakukan oleh jaringan komunitas teater remaja di Jawa Timur yang dilaksanakan di Taman Budaya Jawa Timur (Cak Durasim) ataupun yang sudah pernah dilakukan oleh Dewan Kesenian Jakarta dengan membangun kegiatan rutin pementasan teater oleh kelompok-kelompok teater di Taman Ismail Marzuki sehingga menawarkan konsep-konsep teater yang ada saat ini. Namun yang dilakukan oleh pekerja seni yang ada di Sumenep jarang kita temukan hal yang demikian, dan pada saat inilah seharusnya kita dapat memulainya. Mungkin hal inilah yang menjadi kelemahan kita bersama di dalam proses berkesenian kita selama ini. Kelemahan ini mungkin dikarenakan kurangnya ruang-ruang apresiasi dan kita mungkin ditakdirkan untuk tidak dapat menerima pendapat atau evaluasi dari pihak lain yang dianggapnya hanya dapat melemahkan proses kreativitas yang selama ini sudah dilakoninya.

Seperti halnya pementasan kesenian tradisional yang selama ini digelar, perhelatan rutin dilaksanakan karena untuk acara hiburan semata dan pementasan teater serta tari dilaksanakan hanya sebagai penanda pencapaian proses latihan atau ditampilkan bersamaan dengan acara ulang tahun komunitasnya. Memang ada beberapa kegiatan pentas yang dilanjutkan dengan evaluasi atau acara diskusi, namun yang diwacanakan hanyalah pujian atau kritikan yang tidak apresiatif. Penulis merasa rindu sebagaimana yang dilakukan oleh teman-teman pekerja seni di luar Madura, mereka benar-benar membahas nilai-nilai capaian artsistik saat selesai pentas dengan mendatangkan pengamat yang sesuai dengan bidang garapannya. Sehingga apa yang dilakukan oleh komunitas seni dalam menawarkan produksinya selalu ingin mendapatkan pencapaian nilai estetika yang baru. Mungkin hal inilah yang belum dilakukan oleh teman-teman pekerja seni di Sumenep khususnya, sehinga geliat perkembangan kesenian sangatlah lamban dan dapat dibilang jalan ditempat.

Kurangnya publikasi pementasan menjadi salah satu bagian tidak terdengarnya capaian-capaian target artistik dari kelompok-kelompok seni yang berkembang di Sumenep. Hal ini sangatlah kita rasakan mengapa sampai saat ini kita tidak pernah membaca atau mendengar adanya pementasan di ruang-ruang publik atau gedung pertunjukan (dalam tanda kutip) lingkaran berkesenian diwilayah kita. Penulis sangat merasakan betapa dahsyatnya pengaruh publikasi baik dalam bentuk media cetak maupun media elektronik (dunia maya) untuk memberikan informasi bahwa peristiwa kesenian akan atau sudah berlangsung. Seperti halnya beberapa peristiwa panggung baik berskala local maupun nasional yang banyak kita dapatkan di dunia maya (internet). Hal demikian perlu kiranya mendapatkan perhatian bagi penggiat seni di Sumenep untuk kiranya juga mempublikasikan agar peristiwa kesenian di Sumenep juga menjadi lalu lintas informasi peristiwa kesenian di daerah lain.

Tidak kalah menariknya adalah apa yang sudah dilakukan oleh lembaga-lembaga yang mengayomi kesenian baik Dinas Pendidikan maupun Dinas pariwisata dan kebudayaan kabupaten Sumenep selama ini. Kegiatan yang selama ini dilaksanakan oleh DISPARBUD yakni atas nama program pembinaan, pelestarian dan pengembangan kesenian dan budaya, yang penulis rasakan hanyalah melakukan kegiatan seremonial proyek agar program berjalan tanpa memperhitungkan pencapaian nilai-nilai apresiasi kepada masyarakat. Bisa dikatakan proyek selesai dan laporan diserahkan ke Dewan sehingga pencairan dana selesai tanpa memikirkan apakah kegiatan tersebut mencapai target sasaran apresiasi kepada masyarakat. Seperti halnya pelaksanaan pentas seni budaya baru-baru ini yang dilaksanakan dilapangan Gotong Royong (LKS Sumenep) dengan setting panggung yang sangat-sangat sederhana atau bisa dibilang apa adanya, tanpa ada capaian estetika dan materi yang ditampilkan juga pengulangan karya-karya dari komunitas seni yang selalu jadi tunjukan pihak penyelenggara. Yang hendaknya dilakukan adalah seberapa besar hasil binaan pihak penyelenggara kepada komunitas dan target hasil pembinaan tersebut dapat diapresiasikan kepada masyarakat. Diharapkan ada senergisitas antara kelompok seni dengan birokrasi atau lembaga kesenian untuk menjembatani kepentingan apresiasi masyarakat atau penonton. Namun yang dapat kita rasakan adalah pihak penyelenggara tidak mencoba untuk menawarkan kepada kelompok-kelompok seni yang lain yang selama ini juga melakukan proses kreativitas di komunitasnya masing-masing. Saya pikir penyelengara hanya melakukan pendekatan relasi saja tanpa dilakukan pendekatan proses kreativitas. Hal inilah salah satu penyebab keterpurukan pengembangan kegiatan seni di kabupaten Sumenep. Begitu juga yang dilakukan oleh dinas pendidikan, selama ini tidak melakukan program pembinaan atau apresiasi ke sekolah-sekolah secara rutin agar diketahui sampai mana pengembangan proses kreativitas seni terhadap siswa atau sekolah. Ini sangat penting dilaksanakan agar proses kreativitas siswa tidak hanya menjadi tanggung jawab guru kesenian namun juga tanggung jawab bersama dengan pihak birokrasi yang ada.

Pada dasarnya kesenian merupakan kebutuhan masyarakat, baik sebagai kreator maupun sebagai penyangga kesenian (masyarakat penonton). Kesenian hidup dan dihidupi karena kebutuhan masyarakatnya, baik sebagai sarana upacara ritual ataupun sebagai sarana hiburan. Kesenian tradisional sampai sekarang pun masih dapat hidup walaupun jantungnya sudah megap-megap karena banyaknya ragam media hiburan yang ditawarkan oleh budaya industri. Seni pertunjukan modern khususnya tari dan teater juga perkembangannya tidak kita ragukan sebagai sarana aktivitas kegiatan kampus maupun kegiatan ekskul di sekolah-sekolah. Namun apakah kita biarkan mereka berjalan tanpa adanya sentuhan dari pihak yang memayungi kesenian (DISPARBUD dan DIKNAS) dan juga tidakkah kita mencoba untuk membangun penonton yang apresian terhadap garapan yang kita tawarkan. Jelas ini adalah hal yang sangat urgent untuk kita pikirkan bersama bagaimana kita mampu membangun penonton yang baru sehingga karya kreativitas kita dapat mencapai puncak-puncak kreativitas. Dengan kita mampu membangun penonton yang apresian dan didampingi oleh pembinaan dari pihak yang terkait secara benar dan rutin, penulis yakin kesenian tidak akan mengalami stagnasi perkembangan dan mungin akan berjalan menuju mercusuar kreativitas yang pernah dilakukan oleh seniman-seniman tempo doloe. (by. Agus Suharjoko).

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut

 

TANAH KAPOR | Creative Commons Attribution- Noncommercial License | Dandy Dandilion Designed by Simply Fabulous Blogger Templates