Kadang hidup tidak seperti yang dibayangkan. Banyak di sekitar kita yang kurang beruntung, sehingga mereka untuk makan hari ini, mencari nafkah hari itu juga. Sebuah kehidupan pahit dalam sebuah keluarga, seringkali membuat seorang anak mencari nafkah untuk biayai diri dan keluarganya. Kondisi keluarga yang banyak ditemukan pada mereka yang terbelit dalam kemiskinan. Kepapan inilah yang kadang membuat seseorang frustasi sehingga terjerat ke dalam arena judi dan mabok minuman keras untuk keluar dari permasalahan keluarga yang demikian getir dan menyakitkan.
Tarian di Ujung Derita (TdUD) film pendek yang disutradarai Mia Ayudis S. H kelas X-7 menawarkan salah satu sisi kehidupan remaja dengan tokoh Sri yang kurang beruntung karena berada dalam keluarga broken home. Ayahnya seorang pemabuk dan ibunya seorang buruh cuci. Untuk membiayai pendidikannya Sri harus mengamen dengan menari sepanjang jalan dari satu toko ke toko berikutnya untuk bisa membiayai hidupnya. Kisah ini amat menarik ketika Sri diusir ayahnya dari rumah, karena tidak mau memberikan uang hasil ngamen kepada ayahnya yang butuh untuk membeli minuman keras. Kehidupan beralih ketika Sri akhirnya hidup di kolong dengan dinding dan lantai kardus.
Percintaan, dan persaingan sesama teman cewek satu kelas. Sebuah bumbu cinta yang ghalib sering ditemui dalam sinetron TV. Namun nasib tragis menimpa Sri saat ngamen di pinggir jalan tertbrak sepeda motor. Sri akhirnya meninggal dunia.
Nilai-nilai yang cukup menarik dalam tayangan TdUD antara lain; pertama, perjuangan seorang anak untuk melanjutkan pendidikannya dengan ngamen – menari dari satu tempat lain. Sebuah perjuangan hidup yang menggambarkan kemandirian dan keberanian untuk menjalani hidup yang penuh tantangan dan jerat kemiskinan yang menyakitkan. Sehingga seringkali anak-anak tidak mampu secara ekonomi dipandang tidak berguna bagi orang lain. Betapa mulia Sri yang tidak mau merep[otkan orangtua untuk membiayai sekolahnya. Betapa tabahnya Sri saat dilecehkan oleh teman-temannya di kelas, ketika ditunjukkan foto Sri tengah ngamen di pertokoan.
Kedua, seringkali kemiskinan menjadi olok-olok bagi teman-teman kita, tanpa pernah belajar untuk menghargai perjuangan hidup dan menjalani hidup dengan tabah. Sri sosok yang cukup gigih berani hidup sendiri untuk melanjutkan cita-citanya. Sebuah gambaran bagi semua, masih banyak di antara teman-teman kita yang kurang mampu secara ekonomi, butuh kepedulian bersama.
Ketiga, bahwa ketetapan tuhan adalah adil, yaitu saat ayah Sri mengalami stroke setelah tahu Sri yang diusirnya dari rumah meninggal karena kecelakaan.
Disamping kelebihan-kelebihan yang disodorkan dalam TdUD, film ini terasa amat datar dan hal ini karena kurangnya riset yang dilakukan oleh tim keratif, pembuat skenario. Pertama, proses mutasi tak segampang yang digambarkan karena harus ada rekomendasi dari sekolah yang akan menerima dan keterangan dari sekolah yang akan melepasnya. Kedua, betapa gampangnya hidup Sri saat ngamen selalu saja yang di datangi memberikan uang. Pada hal, kenyataannya masih banyak yang membuang muka ketika didatangi pengamen. Mereka yang usil melakukan pelecehan, sehingga membutuhkan ketangguhan sendiri bagi pengamen tari di jalanan. Ketiga, Betapa musykil seseorang dari keluarga miskin yang kekurangan minggat ke kota menacri tempat kos yang agak bagus. Dan aklhirnya Sri hanya bisa hidup di kolong jembatan beralas dan berdinding kardus.
Namun yang sangat menggembirakan karya film TdUD; jalan penceritaan cukup menarik, untuk mengangkat perjuangan seorang siswi di tengah kemiskinan, menari untuk membiayai hidupnya. Aku yakin waktu kelak yang akan menentukan kreativitas kalian. Jangan pernah berhenti untuk berkarya. Jangan pernah berhenti untuk terus menambah wawasan pengetahuan dan pengalaman. Kelak, kalian akan membuat yang lebih bagus lagi. Aku tunggu...!(Hidayat Raharja)
Rabu, 27 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar